Saturday, February 18, 2012

pentingnya pengemasan dan suhu penyimpanan sebagai cara untuk memperlambat kemunduran mutu produk


BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk memperlambat laju kemunduran pasca panen komoditas buah-buahan dan sayuran diperlukan suatu cara penanganan dan perlakuan yang baik, sehingga laju  respirasi dan transpirasi dapat ditekan serendah mungkin. Cara yang paling efektif untuk menurunkan laju respirasi adalah dengan menurunkan suhu produk. Namun demikian beberapa cara tambahan dari cara pendinginan tersebut dapat meningkatkan efektifitas penurunan laju respirasi.
Pengemasan dengan plastik film adalah salah satu cara cara untuk menurunkan laju respirasi tersebut. Dengan kemasan plastik untuk produk segar akan menyebabkan adanya perubahan konsentrasi CO2 dan O2 sekitar produk di dalam kemasan sebagai akibat dari proses respirasi produk serta interaksinya dengan permeabilitas plastic terhadap gas O2 dan CO2. Menurunnya konsentrasi O2 dan meningkatnya konsentrasi CO2 sebagai akibat respirasi produk, dan karakteristik permeabilitas dari kemasan plastic ikut berperan dalam mengkreasi konsentrasi O2 dan CO2 di dalam ruang bebas kemasan dapat berakibat terhadap penurunan laju respirasi produk dalam kemasan itu sendiri.
Pemilihan ketebalan kemasan plastik adalah hal yang kritis karena berhubungan dengan permeabilitas terhadap O2, CO2, dan uap air, yang berarti pula sebagai salah satu cara untuk mempertahankan RH udara sekitar produk. Jenis plastik polietilen densitas rendah biasanya digunakan untuk mengemas buah-buahan dan sayuran. Hal ini disebabkan karena dengan penggunaan jenis plastik polietilen mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2 dan penurunan konsentrasi O2 yang mampu memperlambat proses pematangan dan umur simpan. Namun demikian konsentrasi CO2 berlebihan dan O2 yang terbatas akibat kesalahan memilih ketebalan dari plastik tersebut mengakibatkan metabolisme menyimpang dalam buah yaitu terjadinya respirasi anaerobik yang berakibat terhadap kegagalan pemasakan dan penyimpangan bau (off flavour).

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa memahami adanya interaksi metabolism produk dengan karakteristik pearmeabilitas plastic berpengaruh terhadap mutu produk hortikultura segar selama penyimpanan.
2. Mahasiswa memahami pentingnya pengemasan dan suhu penyimpanan sebagai cara untuk memperlambat kemunduran mutu produk.
3. Mahasiswa mampu mengedentifikasi perubahan – perubahan dan karakteristik mutu produk segar.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mendukung agar respirasi berlangsung wajar selama proses senescence diperlukan suatu minimal (dalam batas tertentu) pemusatan oksigen, di bawah batas minimal akan terjadi respirasi anaerob dan dihasilkan alkohol, sehingga dapat menyebabkan hilangnya aroma dan terjadinya kerusakan jika peristiwa berlangsung lama serta alkohol yang dihasilkan itu mencapai ± 100 mg. Proses aerasi menyebabkan sejumlah kecil alkohol tadi akan hilang dan dengan demikian pergantian/perubahan-perubahan zat-zat akan berlangsung kembali secara wajar (Pantastico et al, 1986).
Menurut Pantastico (1993), konsentrasi O2 yang rendah dapat mempunyai pengaruh :
a. Laju respirasi dan oksidasi substrat menurun
b. Pematangan tertunda dan sebagai akibatnya umur komoditi menjadi lebih  panjang
c. Perombakan klorofil tertunda
d. Produksi C2H4 rendah
e. Laju pembentukan asam askorbat berkurang
f. Perbandingan asam-asam lemak tak jenuh berubah
g. Laju degaradasi senyawa pektin tidak secepat seperti dalam udara
Ketersediaan oksigen akan mempengaruhi laju respirasi, namun besarnya pengaruh tersebut berbeda bagi masing-masing spesies dan bahkan berbeda antara organ pada tumbuhan yang sama. Fluktuasi normal kandungan di udara tidak banyak mempengaruhi laju respirasi, karena jumlah oksigen yang dibutuhkan tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih kecil dari oksigen yang tersedia di udara (Utama et al, 2000).
Untuk memperlambat kemunduran pasca panen komoditas buah-buahan diperlukan suatu cara penanganan dan perlakuan yang dapat menurunkan respirasi dan transpirasi sampai batas minimal dimana produk tersebut masih mampu melangsungkan aktivitas hidupnya. Pengemasan dengan plastik film adalah salah satu cara untuk menurunkan respirasi untuk produk hortikultura segar. Dengan kemasan plastik untuk produk segar tersebut dapat menyebabkan adanya perubahan atau modifikasi konsentrasi CO2 dan O2 sekitar produk di dalam kemasan, dimana konsentrasi CO2 akan meningkat dan O2 menurun akibat interaksi dari respirasi komoditi yang dikemas dan permeabilitas bahan kemasan terhadap kedua gas tersebut. Menurut Brown (1992), penggunaan plastik sebagai bahan kemasan buah-buahan dapat memperpanjang masa simpan produk hortikultura segar, dimana kemasan plastik memberikan perubahan gas-gas atmosfer dalam kemasan itu sendiri yang berbeda dengan atmosfer udara normal yang mana dapat memperlambat perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pemasakan dan pelayuan (Setyadjit dan Sjaifullah, 1992).
Pemilihan ketebalan kemasan plastik untuk buah-buahan adalah hal yang kritis karena berhubungan dengan permeabilitas terhadap O2, CO2, dan uap air (Pantastico, 1986) dan  secara bersamaan dipengaruhi pula oleh aktivitas respirasi dari produk yang dikemas tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajuri pengaruh ketebalan plastik polietilen densitas rendah sebagai bahan pengemas buah manggis terhadap modifikasi gas O2 dan CO2 selama penyimpanan (Roosmalasari, 2009).
 Pembahasan
Dari data yang didapat dari hasil pengamatan dan penelitian pada pengemasan sayuran sawi selama 6 hari pengamatan dan dengan perlakuan ketebalan plastic yang berbeda-beda yaitu 0,02 mm dan 0,008 mm dan control ternyata menunhukkan adanya perubahan warna dan tekstur. Pada penyimpanan suhu dingin warna sawi pada hari ke-0 pengamatan semua perlakuan hijau 100%, pada pengamatan hari ke-2 terjadi perubahan warna pada perlakuan control menjadi hijau 50%, pada hari ke-4 terjadi perubahan pada kedua ketebalan plastic yaitu menjadi hiaju 75 % pada hari ke 6 terjadi [perubahan juga control menjadi hijau 25% dan pada perlakuan ketebalan plastic sawi berubah warna menjadi hijau 50%. Selain warna juga terjadi perubahan tekstur yaitu pada hari ke 0 pengamatan semua perlakuan teksturnya dangat keras kemudian terus mengalami perubahan sampai pengamatan hari ke 6 yaitu untuk control teksturnya sangat lunak, perlakuan ketebalan pplastik 0,02 mm dan 0,08 mm teksturnya agak lunak. Begitu juga untuk suhu ruang juga mengalami perubahan warna dan tekstur. Pada hari ke 0 pengamaatan warna sawi pada semua perlakuan hijau 100% dan kuning 0 % dan terus mengalami perubahan sampai hari ke 6 pengamatan yaitu pada perlakuan control warna sawi menjadi hijau 50% dan kuning 50% begitu juga dengan perlakuan ketebalan plasrtik 0,02 mm dan 0,08 mm. untuk tekstur hari ke 0 pengamatan teksturnya sangat keras dan terus mengalami perubahan sampai hari ke 6 pengamatan yaitu pada semua perlakuan teksturnya menjadi sangat lunak.
Warna pada buah dan sayur dipengaruhu oleh adanya pigmen yang terkandung dalam buah dan sayur, perubahan warna pada buah dan sayur berkaitan dengan kerja enzim terhadap pigmen. Hal nitu diakibatkan adanya proses respirasi yang mengahasilkan energy untuk enzim bekerja terjadi proses pematangan pada buah maupun sayur. Sedangkan proses pelunakan pada buah dan sayur ada kaitannya dengan proses transpirasi buah dan sayur. Dengan adanya proses transpirasi maka kandungan air yang ada di dalam buah dan sayur menjadi berkurang sehingga buah dan sayur menjadi layu.
Perubahan fisik yang terjadi dan juga perubahan fisiologis pada perelakuan pelapisan, pengepakan dan crisping ini pada dasarnya terjadi karena adanya proses respirasi dan transpirasi pada masing-masing perlakuan yang pada akhirnya menyebabkan perubahan warna, tekstur dan pelunakan.
Proses yang terjadi pada fenomena modifikasi atmosfer yaitu proses laju respirasi yang merupakan proses metabolism utama yang dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia pada hasil panen produk hortikultura misalnya perubahan pada kekerasan warna dan susut bobot. Kondisi lingkungan berperan penting pada kondisi atmosfer yaini pada pada produk hortikultura. Pengaruh dari modifikasi atmosfer dapat mengahasilkan kondisi udara yang optimal serta memperpanjang masa simpan produk hortikultura.

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
           
5.1 Kesimpulan
1.      Warna pada buah dan sayur dipengaruhu oleh adanya pigmen yang terkandung dalam buah dan sayur, perubahan warna pada buah dan sayur berkaitan dengan kerja enzim terhadap pigmen.
2.      Pemilihan ketebalan kemasan plastik adalah hal yang kritis karena berhubungan dengan permeabilitas terhadap O2, CO2, dan uap air.
3.      penggunaan plastik sebagai bahan kemasan buah-buahan dapat memperpanjang masa simpan produk hortikultura segar, dimana kemasan plastik memberikan perubahan gas-gas atmosfer dalam kemasan itu sendiri yang berbeda dengan atmosfer udara normal yang mana dapat memperlambat perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pemasakan dan pelayuan.

5.2 Saran
            Pada saat proses pengepakan, hal yang perlu diperhatikan adalah proses penutupan, diusahakan pada proses ini tidak terjadi kebocoran pada plastic.

DAFTAR PUSTAKA

Kays, S.J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. An AVI Book, NY.

Pantastico, E.B., T.K. Chattopadhay dan H. Subramaryam. 1986. Penyimpanan dan Operasi Penyimpanan Secara Komersil. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Roosmalasari, A.A. 2009. Pengaruh Beberapa Jenis Plastik Untuk Pengemasan Individu Terhadap Mutu dan Masa Simpan Buah Manggis. Skripsi Sarjana, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

Setyadjit dan Sjaifullah. 1992. Pengaruh Ketebalan Plastik untuk Penyimpanan Atmosfir Termodifikasi Mangga Cv. Arumanis dan Indramayu. Jurnal Hortikultura 2(1) 31 – 42.

Utama, I.M.S, I.D.P. Gunadya, M.S. Mahendra. 2000. Laporan Akhir. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kerusakan Pascapanen Buah Manggis. Universitas Udayana. Bali.


EFEK RESIDU FUNGISIDA BERBAHAN AKTIF MANCOZEB 80 % TERHADAP JAMUR FILOSFIR DAN RHIZOSFIR SEBAGAI DAMPAK PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK DAUN (Phytophthora infestans) Mont de Barry PADA TANAMAN KENTANG


                                  Efek Residu Fungisida Berbahan Aktif Mancozeb 80 %
Terhadap Jamur Filosfir dan Rhizosfir
Sebagai Dampak Pengendalian Penyakit Busuk Daun
(Phytophthora infestans) Mont de Barry Pada Tanaman Kentang

The Residual Effect Of Mancozeb 80 % Fungicide On Phyllospheric and Rhizospheric Fungi as an Impact of the Late Blight Disease
(Phytophthora infestans) Mont de Barry on Potato

Ignatius Julijantono
Mahasiswa Program Pascasarjana Unibraw, Malang /
Staf MD PT. Tanindo Subur Prima Surabaya

Liliek Sulistyowati dan Tutung Hadi Astono
Staf Pengajar Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang

ABSTRAK

                Penyakit busuk daun pada tanaman kentang yang disebabkan oleh jamur P. infestans merupakan salah satu penyakit penting yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada tanaman kentang, terutama pada musim penghujan. Untuk mengendalikannya petani lebih banyak menggunakan fungisida yang memiliki cara kerja sebagai racun kontak dan sistemik. Fungisida dengan bahan aktif Mancozeb 80 % banyak digunakan petani terutama pada musim penghujan dengan merk dagang Dithane M-45. Dengan bahan aktif yang sama, Mancozeb 80 % banyak beredar dengan merk dagang yang lain yaitu Victory 80 WP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas Mancozeb 80 % dalam mengendalikan penyakit busuk daun kentang serta dampak residu yang ditimbulkannya terhadap kehidupan jamur-jamur filosfir dan rhizosfir. Percobaan lapang dilaksanakan di kebun percobaan Universitas Brawijaya di Dusun Sumberbrantas Desa Tulungrejo Batu (1800 dpl) pada bulan Desember 2001 sampai Maret 2002, sedangkan percobaan laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Laboratorium Kesehatan Daerah Surabaya.
                Percobaan lapang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 9 perlakuan : Victory 80 WP konsentrasi 0.5 gr/l (V1), 1 gr/l (V2), 1.5 gr/l (V3), 2 gr/l (V4), 2,4 gr/l (V5), 3 gr/l (V6), Dithane M-45 konsentrasi 2.4 gr/l (D1) dan 3 gr/l (D2) sebagai pembanding serta Kontrol (k), Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Data dianalisa dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan uji lanjutannya menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) taraf 5 %, sedangkan tingkat residu pada daun dan dalam tanah dianalisa menggunakan alat Gas Kromatografi (GC) dengan standart Mancozeb murni dari PT. Tanindo Subur Prima Surabaya.
                Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi fungisida Mancozeb 80 % mampu menekan tingkat serangan penyakit busuk daun pada tanaman kentang. Intensitas serangan terkecil dicapai pada aplikasi Victory 80 WP konsentrasi 3 gr/l dengan mempertahankan hasil tertinggi sebanyak 8.40 ton/Ha. Aplikasi fungisida Mancozeb 80 % dengan konsentrasi yang semakin meningkat, akan meninggalkan residu yang semakin tinggi pada daun dan  dalam tanah serta berpengaruh terhadap penurunan populasi jamur-jamur filosfir dan rhizosfir yang hidup pada permukaan daun dan di dalam tanah.
______________________

Kata kunci : Mancozeb 80 %, Residu, Filosfir, Rhizosfir


ABSTRACT

                Late Blight which is caused by the P. infestans fungi is an important disease causing damage to potato, especially in the rainy season. To control it, the farmers more make the fungicide that have protective and sistemic act. Mancozeb 80 % fungicide more make farmers especially in the rainy season with Dithane M-45 trade mark. Others with the have active ingredient same, in free market there are Victory 80 WP. This study is aimed at determining the effectivness of Late Blight chemical control by using Mancozeb 80 % Fungicide, and the residual effect on phyllospheric and rhizospheric fungi. This study was conducted in field trial Brawijaya University (1800 m above sea level) from December 2001 throught March 2002, Mycology Laboratory Brawijaya University and Health Laboratory Surabaya.
                The experiment was carried out on site by simple Randomized Completely Block Design with nine treatments; Spraying with Victory 80 WP 0.5 gr/l (V1), 1 gr/l (V2), 1.5 gr/l (V3), 2 gr/l (V4), 2.4 gr/l (V5), 3 gr/l (V6), Dithane M-45 fungicide spray of 2.4 gr/l (D1) and 3 gr/l (D2) as comparison and without fungicide spray (k). Each treatment was applied with four replications. The data were analized by ANOVA and Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) on p=0.05. The Mancozeb 80 % residual on leave and soil was analyzed  by the Gas Cromatography (GC) with standart pure Mancozeb from PT. Tanindo Subur Prima Surabaya.
                The result of the study indicate that Mancozeb 80 % fungicide application was able to suppress the intensity of Late Blight attack on potato. The intensity of the disease smallest with application of Victory 80 WP concentration 3 gr/l with highest production 8.40 ton/ha. The residues of Mancozeb 80 % on leave and soil more increase with application Mancozeb 80 % fungicide that increase and it influence the number of phyllospheric and rhizospheric fungi colonies.
______________________

Key words : Mancozeb 80 %, Residues, Phyllospheric, Rhizospheric.


PENDAHULUAN

                Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian telah menunjukkan hasil dalam menanggulangi merosotnya produksi akibat serangan jasad pengganggu. Bahkan penggunaan pestisida mampu menyelamatkan paling tidak sepertiga dari kehilangan hasil akibat penyakit (Dibiyantoro, 1995).
                Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pestisida telah meluas pada beberapa komoditi pertanian, salah satunya komoditi kentang. Pada tanaman kentang perlakuan fungisida banyak digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk daun yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans (Mont) de Barry. Bahkan sampai sekarang pendekatan teknik pengendalian masih tergantung pada penggunaan fungisida.
                Hasil survey tahun 2001 (Abadi, et.al, 2001) terhadap petani-petani sayuran di Batu  Malang menunjukkan bahwa para petani melakukan aplikasi fungisida antara 2-3 kali setiap minggu dengan dosis 1 kg/200 liter air atau setara dengan konsentrasi 5 gr/liter air. Penyemprotan fungisida dapat ditambah intervalnya bila cuaca dianggap menguntungkan bagi pertumbuhan jamur P. infestans. Diantara fungisida yang biasa digunakan oleh petani adalah yang berbahan aktif Mancozeb 80 %.
                Di Indonesia fungisida berbahan aktif Mancozeb sangat luas digunakan petani kentang untuk mengendalikan penyakit busuk daun. Petani kentang rata-rata menggunakan fungisida Mancozeb sebanyak 25 kg setiap hektar dalam satu musim tanam (Anonim, 1999). Dengan total area penanaman kentang mencapai 64.971 hektar dan kebutuhan fungisida sebanyak 25 kg setiap hektarnya, maka total fungisida Mancozeb yang beredar di Indonesia mencapai 1.624.275 kg atau 1.624,3 ton setiap musim tanam kentang.                Di Jawa Timur sendiri, luas penanaman kentang mencapai jumlah 6.796 hektar dengan total kebutuhan fungisida golongan Dithiocarbamat (Dithane dan Antracol) mencapai jumlah 169.900 kg atau 169,9 ton setiap musim tanam (Anonim, 1999).
                Dampak samping penggunaan fungisida untuk mengendalikan penyakit busuk daun di lahan tanaman kentang adalah adanya residu yang tertinggal di dalam tanah dan tanaman kentang. Semakin banyak tanaman kentang disemprot dengan fungisida maka akan berpengaruh terhadap akumulasi residu pada daun dan di dalam tanah.  Perilaku pada daun dan di dalam tanah dapat mengalami pencucian oleh hujan, mengalami degradasi kimia oleh mikroba, bioakumulasi fungisida oleh mikroba, perubahan tingkat populasi mikroba pada daun dan tanah dan sebagainya.
Sehubungan dengan semakin luasnya penggunaan bahan aktif Mancozeb 80% dan mengingat penyakit busuk daun kentang terus mengancam produktifitas tanaman kentang, maka perlu penelitian untuk menguji efektifitas fungisida Mancozeb 80% dalam mengendalikan penyakit busuk daun kentang.  Penelitian juga dilakukan terhadap efek residu fungisida Mancozeb yang diaplikasikan pada bagian daun tanaman, di dalam tanah sekitar tanaman serta kehidupan jamur-jamur non target yang berada pada permukaan daun dan yang terdapat di dalam tanah.


Metode Penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan di areal Kebun Percobaan Universitas Brawijaya Malang di Dusun Sumber Brantas Desa Tulung Rejo Batu dengan ketinggian ± 1800 mdpl.  Percobaan dimulai pada bulan Desember 2001 samapai Maret 2002.  Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Mikologi Jurusan Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan Untuk analisis residu pada daun dan tanah dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Surabaya.

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian Lapangan
                Penelitian lapangan disusun menurut Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 9 perlakuan dan diulang sebanyak 4 kali. Tanaman kentang varietas granola yang peka terhadap P. infestans ditanam dengan jarak tanam 80 cm x 50 cm dengan satu umbi tiap lubang tanam. Fungisida Victory 80 WP yang diuji meliputi 6 perlakuan dengan 2 pembanding dari bahan aktif sejenis dan ditambah 1 kontrol tanpa perlakuan fungisida. Aplikasi pertama diberikan setelah umur 14 hst dan selanjutnya diberikan interval 7 hari sekali. Jumlah aplikasi diperkirakan mencapai 10 kali. Untuk mengendalikan hama Trips sp, Aphids sp dan lalat daun diaplikasikan insektisida Curracron, Confidor dan untuk mengendalikan penyakit busuk daun hanya diberikan fungisida sesuai dengan perlakuan. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan selanjutnya beda antar perlakuan diuji dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) taraf 5 %.

Penelitian Laboratorium
Pengujian Senyawa Mancozeb 80 % Secara In Vitro
                Penelitian pengujian senyawa Mancozeb 80 % secara In Vitro menggunakan metode kertas saring menurut Sharvelle (1979) dan Dekker (1983). Perlakuan yang diuji dalam percobaan ini meliputi 9 perlakuan dan diulang sebanyak 4 kali serta disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL).
                Langkah pertama dalam pengujian secara In Vitro adalah membuat media Rye Seed Agar yang memiliki komposisi Biji Rye sebanyak 100 g, Dextrose 5 g, Air 500 ml serta antibiotika pymaricin sebanyak 0.05 gr, dimasukkan dalam autoclave untuk dilakukan sterilisasi. Kemudian menuang 10 cc media yang telah mencair dengn suhu 50 0 C ke dalam cawan petri sampai memadat. Langkah selanjutnya adalah menumbuhkan inokulum jamur yang berasal dari tanaman kentang yang sakit ke dalam medium Rye Seed Agar. Langkah tersebut adalah untuk memperoleh inokulum jamur P. infestans yang murni. Apabila diperoleh inokulum jamur yang murni, maka dapat dilakukan pengujian secara In Vitro. Dalam pengujian ini pertama adalah membagi daerah luasan cawan petri yang akan ditempatkan konsentrasi masing-masing perlakuan fungisida menjadi 4 bagian sama besar. Masing-masing luasan tersebut diletakkan bulatan kertas saring yang telah direndam dengan larutan fungisida sesuai konsentrasi. Satu biakan jamur dalam medium Rye Seed Agar terdapat bulatan kertas saring yang telah direndam dengan larutan fungisida, selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 5-7 hari. Pengamatan meliputi perkembangan jamur dan penghambatan fungisida terhadap perkembangan jamur tersebut dengan cara mengukur diameter pertumbuhan jamur yang terhambat pada cawan petri. Persentase penghambatan dinyatakan dalam rumus (Johson, 1972) sebagai berikut :

Daya hambat (%) = Æ jamur kontrol - Æ jamur terhambat  x 100
                                                      Ã† jamur kontrol

Jumlah Jamur-jamur Filosfir
                Pengamatan juga dilakukan terhadap kehidupan jamur-jamur filosfir (jamur non target), dengan cara mengisolasi jenis-jenis dan populasi  jamur dari daun kemudian ditumbuhkan secara In Vitro dalam media PDA. Jumlah jamur dihitung dari banyaknya koloni yang tumbuh pada media dikalikan dengan faktor pengenceran. Masing-masing koloni dari setiap genus yang tumbuh dipisahkan sebagai biakan murni dan diidentifikasi. Identifikasi dilakukan selain berdasarkan bentuk dan warna koloni dengan pengamatan visual, juga berdasarkan buku-buku manual identifikasi yang ada (Barnett, 1962). Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum aplikasi, satu hari setelah aplikasi ke 5 dan satu hari setelah aplikasi ke 6.

Residu Fungisida Pada Daun
                Untuk mengetahui kadar residu Mancozeb yang tertinggal pada daun, digunakan Gas Kromatografi dengan standart Mancozeb murni yang diperoleh dari PT. Tanindo Subur Prima. Pengambilan sample daun dilakukan sebelum aplikasi, sehari setelah aplikasi ke 5, dan sehari setelah aplikasi ke 6. Pengambilan sample dilakukan dengan mengambil sample secara diagonal dengan lima titik pengambilan. Jumlah daun yang diambil masing-masing 3 pucuk. Ekstraksi sample dilakukan secara langsung pada saat sample masih segar. Langkah ini dilakukan sesuai dengan sifat Mankozeb yang tidak stabil dan mudah hilang pada sample yang akan dihitung secara kuantitatif (Sudirman, 2002). Pengujian dengan Gas Kromatografi Penyaringan, Pemurnian dan Injeksi ke dalam kolom (Anonim, 1990). Pada Proses penyaringan, sample dari daun dan tanah ditimbang sebanyak 250 gram dan ditambahkan Acetonitril serta 5 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kemudian diblender dan disaring. Proses selanjutnya adalah memasukkan sebanyak 93 ml filtrat dalam corong pisah yang berisi 100 ml petroleum eter, dikocok selama 5 menit, dan membuang lapisan air yang terpisah pada bagian bawah. Pada sisa larutan ditambahkan 200 ml Na2SO4 2 %, dikocok selama 2 menit, dan membuang lagi sisa air yang terpisah. Pada corong biasa diberi glass wall dan Na2SO4 anhidrat granuler pada lapisan atas, dilewatkan pada corong untuk disaring. Proses selanjutnya adalah pemurnian. Pada proses pemurnian glass wall ditempatkan  pada bagian bawah kolom kromatografi dan ditambahkan 1.6 gram fluoricyl serta 1.6 gram Na2SO4 anhidrat Granuler,  kolom dicuci dengan 50 ml heksan, kemudian dengan 50 ml metanol, dan membuang cairan pencuci. Elusi dengan 11 ml heksan, ditampung masing-masing dalam labu erlemeyer dan diuapkan sampai 0.5 ml diatas water bath.. Sample yang telah diuapkan diatas water bath diambil sebanyak 10 mikroliter dengan menggunakan syringe, kemudian di injeksikan ke dalam kolom melalui septum secara bersamaan dengan menekan tombol start. Dilayar monitor diagram kromatogram yang terbentuk dapat dimati. Perhitungan nilai kuantitatif residu yang terdapat pada sample menggunakan rumus :

                μg/L (ppm) = A x B x C x D
                                      E x F x G

Dimana :
A : Konsentrasi larutan standart pestisida (μg/ μl)
B : Tinggi puncak hasil pemurnian (mm)
C : Volume akhir hasil ekstraksi ( μl)
D : Faktor Pengenceran (bila ada)
E : Tinggi puncak larutan standart (mm)
F : Volume hasil pemurnian yang disuntikkan ( μl)
G : Volume atau berat dari contoh atau spesimen yang di ekstrak (ml atau gram).
                Pengambilan sample daun dilakukan sebelum aplikasi, sehari setelah aplikasi ke 5, dan sehari setelah aplikasi ke 6. Pengambilan sample dilakukan dengan mengambil sample secara diagonal dengan lima titik pengambilan. Jumlah daun yang diambil masing-masing 3 pucuk.

Jumlah jamur-jamur Rhizosfir
                Jumlah populasi jamur rhizosfir di ukur dengan menggunakan metode cawan pengenceran. Metode tersebut dilakukan dengan cara mengambil sample tanah sebanyak 1 gram dan dimasukkan kedalam 99 ml aquadest steril dan dikocok hingga homogen, 1 cc suspensi tanah pada pengenceran pertama (10-2) dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 cc aquadest steril, dikocok hingga homogen sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-3). Dengan cara yang sama dibuat pengenceran selanjutnya sampai pada pengenceran 10-5. Proses selanjutnya yaitu menuang media PDA sebanyak + 10 cc yang telah dicairkan pada suhu 50 0C kedalamcawan petri yang telah disiapkan. Apabila media dalam cawan petri telah memadat, selanjutnya mengambil 1 cc suspensi jamur dari masing-masing seri pengenceran dengan memakai pipet steril dan dimasukkan kedalam cawan petri yang berisi media PDA. Kemudian kultur diinkubasikan pada suhu kamar selama 7 hari (Gams et al, 1975; Cappucino dan Sherman, 1983).
                Setiap koloni jamur yang tumbuh dalam cawan petri dianggap identik dengan satu propagul dalam tanah. Jumlah koloni dalam cawan petri kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran sehingga diperoleh angka perkiraan populasi jamur tanah per gram tanah. Isolat yang tumbuh kemudian diisolasi lebih lanjut untuk diamati dibawah mikroskop dan diidentifikasi. Identifikasi didasarkan atas buku manual yang ada meliputi  Bentuk dan Warna koloni, miselium dan bentuk spora. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum aplikasi pertama, dua hari setelah aplikasi kelima dan dua hari setelah aplikasi kedelapan.

Residu Fungisida Dalam Tanah
Residu Mancozeb dalam tanah dianalisa dengan metode yang sama seperti yang dilakukan pada sample daun.
Sample tanah diambil secara diagonal dengan  lima titik pengambilan sample disekitar tanaman. Pengambilan sample dan analisis residunya dilakukan 3 kali yakni sebelum aplikasi, sehari setelah aplikasi ke 5 dan sehari setelah aplikasi ke 6.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Intensitas Penyakit Busuk Daun (P. infestans)
Berdasarkan data pengamatan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa konsentrasi aplikasi fungisida berbahan aktif Mancozeb 80 % berpengaruh nyata terhadap  intensitas serangan penyakit busuk daun. Pada pengamatan terhadap intensitas serangan, gejala infeksi busuk daun mulai tampak pada saat umur tanaman 21 hst, tetapi aplikasi fungisida belum memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini diduga bahwa sebelum melakukan infeksi yang ditunjukkan dengan gejala, zoospora yang merupakan spora aktif jamur P. infestans maupun konidiumnya telah menyebar pada seluruh petak perlakuan. Spora kembara dan konidium ini dihasilkan oleh bagian konidiofor dari infeksi awal.  Penyebaran yang merata, kemudian akan dilanjutkan dengan keluarnya haustorium dari bagian infektif tersebut. Penetrasi awal melalui stomata dilakukan dengan menggunakan haustorium, sebagai alat penetrasi untuk mengambil nutrisi. Infeksi akan terlihat dalam beberapa jam saja setelah proses penetrasi. Saat terlihat gejala, maka saat itu patogen telah memperbanyak diri dan mengkolonisasi jaringan tumbuhan dengan luas tertentu. P. infestans merupakan patogen yang polisiklik (Agrios, 1996), artinya dalam satu musim tanam, patogen sangat cepat menyelesaikan daur hidupnya. Daur hidup P. infestans ini akan berdampak pada produksi dan penyebaran spora, sehingga penyebaran penyakit juga akan cepat terjadi.
Pengaruh penggunaan fungisida mulai terlihat setelah aplikasi kedua saat tanaman berumur 28 hst.  Aplikasi fungisida dengan konsentrasi 3 gr/l  memberikan penekanan terhadap intensitas serangan tertinggi. Penekanan terhadap intensitas serangan dapat dilihat pada fungisida Victory 80 WP konsentrasi 3 gr/l. Sampai akhir aplikasi, fungisida Victory 80 WP konsentrasi 3 gr/l memberikan penekanan terhadap intensitas serangan terbaik, dibandingkan dengan Dithane M-45 konsentrasi 3 gr/l.  Kedua fungisida ini memiliki bahan aktif yang sama, yaitu Mancozeb 80 %.  Menurut (Djojosumarto, 2000) ada dua variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi fungisida. Yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik. Evaluasi biologis didasarkan atas pengaruhnya terhadap organisme sasaran. Pengaruh ini tidak terlepas dari adanya bahan pembawa (carrier), bahan perata atau kandungan bahan aktifnya sendiri. Dan kedua adalah evalusi fisik, yaitu didasarkan atas ukuran droplet, penutupan (coverage) dan recoveri dari fungisida yang diaplikasikan. Di lapang, meskipun tidak terdapat data kuantitatif, Victory 80 WP memiliki penutupan yang lebih baik dibandingkan dengan Dithane M-45.  Secara kuantitatif dapat dilihat dari hasil analisis residu yang terdapat pada daun dan tanah, pada pembahasan variabel yang lain dibagian selanjutnya. Disamping itu dari pengujian terhadap kelarutan yang dihitung dalam waktu 3 menit, saat dijatuhkan dalam gelas ukur 100 ml secara bersamaan, Victory 80 WP begitu menyentuh air langsung terdispersi sehingga menyisakan endapan yang lebih sedikit dibanding dengan Dithane M-45. Kecepatan dispersi dan kelarutan dalam air ini, menunjukkan adanya ukuran partikel yang lebih kecil (Anonim, 1992) sehingga dilapang daya lekat pada sasaran lebih lama dan tidak mudah tercuci oleh hujan, dengan demikian akan memberikan perlindungan yang lebih lama pada daun dari serangan jamur. Perlindungan yang lebih lama pada permukaan daun berdampak pada berkurangnya


KESIMPULAN

                Aplikasi fungisida Mancozeb 80 % mampu menekan tingkat serangan penyakit busuk daun pada tanaman kentang. Intensitas serangan terkecil dicapai pada aplikasi Victory 80 WP konsentrasi 3 gr/l dengan mempertahankan hasil tertinggi sebanyak 8.40 ton/Ha. Aplikasi fungisida Mancozeb 80 % dengan konsentrasi yang semakin meningkat, akan meninggalkan residu yang semakin tinggi pada daun dan  dalam tanah serta berpengaruh terhadap penurunan populasi jamur-jamur filosfir dan rhizosfir yang hidup pada permukaan daun dan di dalam tanaman

banyak sekali proses di dalam daun


Banyak proses yang berlangsung dalam daun, tetapi yang menjadi pembeda dan yang terpenting ialah proses pembuatan bahan makanan. Tumbuhan hijau memiliki kemampuan membuat makanan dari bahan-bahan baku dari tanah dan udara, dan pada aktifitas inilah bergantung kehidupan tumbuhan dan kehidupan seluruh binatang dan manusia. Seluruh benda hidup memerlukan energi tidak saja untuk pertumbuhan dan reproduksi, tetapi juga untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Energi ini berasal dari energi kimiawi dalam makanan yang dikonsumsi, sedangkan makanan itu asalnya dari proses fotosintesis (Tjitrosomo, 1990).
Sebelum awal abad ke 18, para ilmuwan percaya bahwa tumbuhan memperoleh semua bahan penyusunnya dari tanah. Pada tahut 1727, Stephen Hales mengemukakan bahwa sebagian makanan tumbuhan berasal dari atmosfer dan cahaya terlibat dalam proses ini. Pada saat itu belum diketahui bahwa udara mengandung unsur gas yang berlainan. Pada tahun 1771, Joseph Priestley seorang pastor dan ahli kimia berkebangsaan Inggris menyinggung O2 (walaupun zat yang disebutnya sebagai udara yang tidak mudah terbakar ini belum dikenal sebagai molekul) ketika ia menememukan bahwa tumbuhan hijau dapat memperbaharui udara yang kotor akibat pernapasan hewan. Kemudian, seorang dokter berkebangsaan Belanda Jan Ingenhous, memperlihatkan bahwa cahaya diperlukan untuk memurnikan cahaya tersebut (Salisbury dan Ross, 1995).
Pada akhir abad ke 19 ilmu pengetahuan dari fotosintesis lebih menyempit, tapi beberapa pengertian mengalir deras pada abad ke 20. Sampai pada saat itu tiba kita tahu bahwa tumbuhan mengabsorbsi CO2 dan mengalirkannya ke senyawa organik. Cahaya merupakan energinya. Oksigen telah diproduksi sebagai hasil dari proses dan tanaman pada gelap mengabsorbsi O2 dan menukarkan CO2 seperti hewan (Ting, 1982).
Daun berfungsi sebagai organ utama fotosintes pada tumbuhan tingkat tinggi. Evolusi daun telah mengembangkan suatu struktur yang akan menahan kekerasan lingkungan namun juga efektif dalam penyerapan cahaya dan cepat dalam pengambilan CO2 untuk fotosintesis. Kebanyakan daun tanaman budidaya mempunyai :
1. Permukaan luar yang luas dan datar,
2. lapisan pelindung permukaan atas dan bawah,
3. banyak stomata per satuan luas,
4. permukaan daun yang luas dan rongga udara yang saling berhubungan,
5. sejumlah besar kloroplast dalam setiap sel, dan
6. hubungan yang erat antara ikatan pembuluh dan sel-sel fotosintesis.
Sehelai daun yang ideal untuk pertukaran gas dan penangkapan cahaya adalah setebal satu sel, tetapi kekerasan lingkungan alami menuntut beberapa lapisan sel dan pelindung permukaan agar tetap lestari (Gardner dkk, 1991).

TINJAUAN PUSTAKA
Materi-materi kasar digunakan oleh tanaman dalam membangun makanan organik, seperti karbohidrat, glukosa, fruktosa dalam bentuk air dan karbon dioksida. Pertambahan dari keuntungan fotosintesis dan pertukaran CO2 seimbang selama musim dingin telah diberitahukan (Pradhan, 2001).
Fotosintesis adalah evolusi O2 yang digerakkan cahaya dari air dan penyimpanan tenaga reduksi yang dihasilkan dalam berbagai komponen karbon yang membentuk jasad hidup. Klorofil a dan pigmen-pigmen pelengkap, yang menyerap kira-kira separuh dari radiasi matahari ( panjang gelombang < 700 nm ), membuat peta dua buah perubahan energi primer didalam dua fotosistem yang berlainan (Wilkins, 1969).
Fotosintesis adalah fenomoena biologi yang paling terpenting di dunia. Fotosintesis menggunakan materi-materi organik di bumi setelah diproduksi. Materi-materi organik ini berasal dari penyedia makanan dan hewan-hewan lain untuk sebagai sumber energi, tersedia dalam bentuk materi-materi kasar untuk mensintesis dan memproduksi sintesis serat, plastik, poliester, dan materi lain yang digunakan (Ting, 1982)
Lazimnya peristiwa fotosintesis dinyatakan dalam persamaan reaksi kimia sebagai berikut :
6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2
peristiwa ini hanya berlangsung jika ada klorofil dan ada cukup cahaya (Dwidjoseputro, 1994).
Pada tumbuhan tinggi, klorofil terdiri dari dua jenis pigmen : klorofil a (C55H72O5N4Mg) yang berwarna hijau-biru, dan klorofil b (C55H70O6N4Mg) yang berwarna hijau-kuning. Unsur-unsur magnesium merupakan 2,7% dari klorofil. Proporsi dari kedua pigmen ini agak berbeda pada berbagai tumbuhan, rata-rata pada tumbuhan bunga nisbah kandungan kedua pigmen ini sekitar tiga bagian klorofil a dan satu bagian klorofil b. Dengan perkecualian beberapa jenis bakteri berpigmen, klorofil a selalu ada dalam tumbuhan hijau, klorofil b terdapat bersama-sama dengan klorofil a pada ganggang hijau dan semua tumbuhan tinggi (Tjitrosomo, 1990).
Pengaruh utama dari perubahan dalam kerapatan pengaliran terjadi pada proses yang menggunakan cahaya sebagai suatu sumber energi fotosintesis dan bukannya pada penggunaan cahaya sebagai suatu indikator lingkungan. Untuk kebanyakan tanaman, fotosintesis menjadi jenuh cahaya pada kerapatan pengaliran yang jauh dibawah maksimum yang biasa dialaminya, sebagian besar karena masalah penyediaan CO2, tetapi di daerah beriklim sedang (temperate) dan daerah kutub, kebalikannya sering terjadi dimana fotosintesis dibatasi oleh intensitas cahaya yang rendah (Andani dan Purbayanti, 1991).
Fotosintesis harus dipisahkan menjadi bagian-bagian penyusunnya untuk menetapkan responnya terhadap temperatur. Reaksi terang atau fosforilasi, tidak tergantung pada temperatur dalam rentang suhu kondisi tubuh tanaman. Fiksasi CO2 merupakan reaksi yang dikendalikan oleh enzim, dan meningkat dengan laju penambahan makin tinggi sejalan dengan meningkatnya temperatur hingga mencapai temperatur yang menyebabkan denaturasi enzim-enzimnya
(Gardner dkk, 1991).
Fotosintesis adalah jalan kecil metabolisme dimana NADPH dan ATP diproduksi oleh reaksi terang dan dipakai untuk merombak anorganik CO2 menjadi organik karbon. Reaksi ini menunjukkan reaksi gelap fotosintesis, tetapi penunjukan ini sangat menyesatkan, sejak implikasi ini bisa mereka proses tanda adanya cahaya (Hopkins, 1995).
Tanaman berhijau daun menangkap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia melalui proses yang dikenal sebagai fotosintesis. Fotosintesis tergantung pada :
a. Faktor luar : hara, mineral, air, CO2, suhu, dan energi
b. Faktor dalam : pigmen, enzim, tingkat organisasi
(Dartius, 1991).
Secara alami siklus gelap terang berlangsung selama 24 jam, berarti jika lama periode terang 14 jam, maka lama periode gelap otomatis adalah 10 jam; sebaliknya jika periode terang hanya 10 jam, maka lama periode gelap menjadi 14 jam. Dengan kata lain, jika periode terang semakin panjang, maka periode gelap akan menjadi semakin singkat, atau sebaliknya (Lakitan, 1996).
Daun dari kebanyakan spesies menyerap lebih dari 90% cahaya ungu dan biru, demikian pula untuk cahaya jingga dan merah. Hampir seluruh penyerapan ini dilakukan oleh pigmen-pigmen kloroplast. Pada membran tilakoid, setiap foton dapat mengeksitasi satu elektron dari pigmen karatenoid atau klorofil. Klorofil berwarna hijau merupakan bukti bahwa pigmen ini tidak efektif untuk menyerap cahaya hijau (Lakitan, 1993).

Kutu Daun Kapas (Aphis gossypii Glover)


Kerajaan      Animalia      
Divisi                    Arthropoda  
Subphylum   Hexapoda    
Kelas           Insecta        
Subkelas      Pterygota    
Infrakelas    Neoptera     
Pesanan      Hemiptera    
Subordo      Sternorrhyncha      
Superfamili Aphidoidea  
Keluarga      Aphididae    
Marga         Wereng       
Jenis             Aphis gossypii Glover



            Kutu Daun Kapas merupakan sejenis serangga yang dianggap perosak. Ia menyerang dengan menghisap cecair dari daun muda, bunga jantan dan bahagian pucuk pokok.Kutu daun kapas termasuk dalam famili Aphididae ordo Hemiptera, serangga ini bertubuh lunak, berukuran 4-8 mm. Kelompok Aphids biasanya berkoloni di bawah permukaan daun atau sela-sela daun, hama ini mengekskresikan embun madu, adanya embun madu yang dikeluarkan kutu daun dapat dilihat dengan terdapatnya semut atau embun jelaga yang berwarna hitam. Munculnya embun jelaga ini menyebabkan permukaan daun tertutupi sehingga akan menghambat         proses         fotosintesis.

Gejala   serangan
            Hama ini mengisap cairan daun, sehingga daun tanaman menggulung, sedangkan pucuk tanaman menjadi keriting. Aphids juga merupakan vektor penyakit virus. Pada fase nimfa dan imago dapat mengisap cairan pada dasar bunga, sehingga mengakibatkan bentuk bunga rusak. Gejala Kutu daun ini menyerang tunas dan daun muda dengan cara menghisap cairan tanaman sehingga helaian daun menggulung. Koloni kutu ini berwarna hijau kekuningan. Kutu menghasilkan embun madu yang melapisi permukaan daun sehingga merangsang jamur tumbuh (embun jelaga). Di samping itu, kutu juga mengeluarkan toksin melalui air ludahnya sehingga timbul gejala kerdil, deformasi dan terbentuk puru pada helaian daun.
Siklus    hidup
            Perkembangan kutu daun
kapas secara partenogenetik dan vivipar. Di daerah tropis umumnya populasi kutu daun kapas dengan cepat, populasi kutu daun kapas sangat tinggi pada awal musim kering, sedangkan pada periode kering yang panjang dan hujan lebat populasinya sangat menurun. Kebanyakan telurnya hidup di musim dingin, kemudian menghasilkan individu-individu yang tidak bersayap dan bersayap. Pada jenis bentuk-bentuk yang bersayap ini pindah ke tumbuhan inang yang berbeda dan proses produksi berlanjut. Di daerah tropis untuk menyelesaiakan satu siklus hidupnya diperlukan waktu rata-rata 8,2-11, 4 hari.

Teknik    pengendalian
            Hama Aphids
kapas bisa dikendalikan dengan cara melakukan penanaman serempak, sehingga tidak ada perbedaan umur tanaman dalam satu hamparan. Dengan melihat gejala serangan di permukan daun yang kelihatan mengkilap, maka bisa dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Pestisida yang biasa digunakan untuk mengendalikan Aphids kapas adalah Confidor 200 SL, Curacron 500 EC, dan Pegasus 500 SC. Selain itu Ada beberapa serangga menguntungkan yang membantu untuk mengendalikan populasi aphid melalui parasitisme dan predasi. Parasit untuk aphid ini ditemukan di Hawaii termasuk Aphelinus gossypi (Timberlake) dan testaceipes Lysiphlebus (Cresson). Beberapa pemangsa termasuk spp Chrysopa., Nesomicromus vagus (Perkins), Zelus renardii.                                                     
Bioekologi
      Secara umum bertubuh lunak, berbentuk seperti buah per, pergerakan rendah dan biasanya hidup secara berkoloni (bererombol). Perkembangan optimal terjadi pada saat tanaman bertunas. Satu generasi berlangsung selama 6-8 hari pada suhu 250C dan 3 minggu pada suhu 150C. Bentuk kutu daun kapas ini bersayap, seksual atau aseksual, menetap atau berpindah-pindah tempat. Pada daerah tropis yang perbedaan musimnya kurang tegas, kutu ini tinggal pada inangnya selama setahun sebagai betina-betina yang vivipar partenogenesis. Kutu dewasa biasanya berpindah tempat untuk menghasilkan kutu-kutu baru yang belum dewasa dan membentuk koloni baru.
      Pengendalian Monitoring diutamakan pada tunas-tunas muda. Pengendalian dilakukan apabila populasi hama ini dinilai bisa menghambat atau merusak pertumbuhan tunas. Sebagai penular penyakti, ambang kendali untuk kutu ini berkisar 25-30 ekor viruliverous. Di alam kutu ini dikendalikan oleh musuh-musuh alami dari famili Syrpidae, Coccinellidae, Chrysopidae. Secara kultur teknis, penggunaan mulsa jerami di bedengan pembibitan jeruk dapat menghambat perkembangan populasi kutu. Untuk pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif Dimethoate, Alfametrin, Abamektin dan Sipermetrin secara penyemprotan terbatas pada tunas-tunas yang terserang dan apabila serangan parah dapat dikendalikan dengan Imidaklopind yang diaplikasikan melalui saputan batang.                                                                                                                                 Jenis semut dan kutu daun tertentu memiliki hubungan yang disebut simbiosis. Dalam simbiosis, binatang berbeda jenisnya saling membantu. Kutu daun merupakan serangga kecil yang bergerak lamban, hidup pada tumbuh-tumbuhan dan memakan nektar, nektar itu dihisap dari batang pohon dengan mulutnya yang tajam dan panjang. Sewaktu dicerna, nektar berubah menjadi bahan manis yang disebut embun madu. Bahan ini kemudian dikeluarkan oleh kutu melalui organ yang disebut kornikula. Embun madu ini makanan kegemaran semut merah, yang memakan sebanyak yang dapat dihasilkan oleh kutu daun itu. Dengan memelihara ternak kutu daun, semut memiliki cadangan yang selalu siap sedia.                                         Untuk melindungi cadangan embun madunya, semut sangat memperhatikan kutu daun miliknya. Misalnya, semut memindahkan kutu itu ke tempat yang banyak nektarnya, dan apabila wilayah pencarian makanan itu menjadi terlalu padat, semut akan memindahkan kutu itu ke wilayah yang lebih longgar. Semut juga menyerang setiap serangga yang mencoba memakan kutu daun itu, sekalipun si penyerang mungkin jauh lebih besar daripada semut itu sendiri.                                                                                                                          Ilmuwan belum memperoleh kepastian kapan atau bagaimana hubungan istimewa ini dimulai. Akan tetapi, dengan ditemukannya semut serta kutu daun yang telah menjadi fosil bersama-sama, terbukti bahwa dua jenis serangga ini telah saling membantu sekurang-kurangnya sejak 30 juta tahun yang lampau. Kisah semut dan kutu daun tersebut, menurut Stephen R Covey, disebut efektivitas, yang merupakan keseimbangan antara produksi dan kemampuan produksi.                                                                                        Produksi merupakan hasil yang dinginkan, yaitu embun madu. Sedangkan kemampuan produksi adalah kemampuan atau aset yang menghasilkan embun madu, yaitu kutu daun. Semut berusaha untuk memelihara dan menjaga kutu daun sebaik-baik, agar kutu daun tersebut tetap menghasilkan embun madu. Semut melakukan tindakan yang efektif.