BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jeruk merupakan salah satu jenis tanaman buah-buahan yang banyak digemari oleh masyarakat dan memiliki kapasitas dalam menunjang perbaikan gizi masyarakat karena kandungan vitamin C nya cukup tinggi dan dapat dikonsumsi baik dalam bentuk segar (sebagai buah meja) maupun olahan (jus dan sirup). Penanaman tanaman jeruk makin lama makin meluas. Penanaman itu tidak hanya dilakukan tanah kering, juga dilakukan di sawah yang berpengairan cukup baik. Namun perluasan penanaman ini menimbulkan masalah, yaitu masalah penyakit. Di beberapa daerah produksi jeruk mengalami kemerosotan yang cukup tinggi. Salah satu factor yang dapat menurunkan produksi jeruk ini adalah penyakit CVPD (citruis ven phloem degeneration).
CVPD merupakan penyakit jeruk paling berbahaya karena bila tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan hilangnya komoditi tersebut. Sebelum penyakit ini menyerang, masa produktif pohon sampai puluhan tahun.Tetapi setelah CVPD menyerang, panen buah yang normal hanya dua atau tiga kali saja. Kemudian setelah itu, buah yang dihasilkan ukurannya makin lama makin kecil dan hanya dapat dipergunakan sebagai buah peras. Keadaan seperti ini, makin lama makin parah. Bibit-bibit jeruk yang ditanam di dekat pohon yang sakit terserang pula dan dapat rusak sebelum mempunyai kesempatan untuk berbuah. Anehnya, pohon tersebut tidak mati, tetapi hidup merana selama bertahun-tahun. Pemupukan dan usaha perbaikan lainnya yang dilakukan petani tidak membuahkan hasil. Hingga kini penyakit yang disebarkan virus "Liberobacter Asiaticum" itu belum ditemukan obatnya dan hanya dapat dilakukan pencegahan.
Berbagai program penganggulangan telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang memuaskan. Produksi jeruk di Indonesia tidak pernah stabil meningkat. Sampai dengan tahun 1997 produksi meningkat terus hingga mencapai 696.422 ton, namun turun kembali pada tahun 1999 menjadi 449.552 ton. Pada tahun 2007 produksinya meningkat menjadi 2.625.884 ton, namun oleh serangan CVPD menjadi hanya 2.467.632 ton pada tahun 2008 (BPS, 2009).
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Nama : H. Abdus Shomah
Umur : 63 tahun
Pendidikan : Tamatan SD
Alamat : Semboro Utara
Luas lahan : ¼ ha
3.2 Pembahsan
Penyakit CVPD merupakan penyakit cukup gawat yang timbul dan menyerang tanaman jeruk. Penyakit ini menyerang bagian daun tanaman jeruk dimana pada serangan lanjut tanaman akan menghasilkan buah yang kecil, buah tidak dapat berkembang lagi dan akhirnya gugur. Tempat yang kami datangi adalah di daerah Semboro Utara. Pemilik lahan tersebut bernama H. Abdus Shomah (63 tahun). Beliau memiliki lahan seluas seperempat hektar. Dalam lahan tersebut jeruk pak H. Abdus Shomah mengalami penyakit blendok. Pada batang terdapat lendir warna hitam. Dengan adanya gejala tersebut diketahui kalau penyakit tersebut diakibatkan oleh bakteri. Cara pengendalian ini dilakukan dengan aplikasi Kaliandra. Pada jeruk tersebut juga terjangkit cabuk yang hamanya tersebut berwarna putih. Selain cabuk pada jeruk juga terdapat penyakit CVPD.
Pada tanaman muda gejala yang nampak yaitu adanya kuncup yang berkembang lambat, pertumbuhan mencuat ke atas dengan daun-daun kecil dan belang-belang kuning. Tanaman biasanya menghasilkan buah berkualitas rendah. Pada tanaman dewasa, gejala yang sering tampak adalah cabang yang daun-daunnya kuning dan kontras dengan cabang lain yang daun-daunnya masih sehat. Gejala ini dikenal dengan sebutan greening sektoral. Daun pada cabang-cabang yang terinfeksi menjorok ke atas seperti sikat. Gejala lain adalah daun berukuran lebih sempit, lancip dengan warna kuning di antara tulang daun. Gejala-gejala ini mirip dengan gejala defisien Zn. Apabila gejala tersebut disebabkan oleh defisiensi Zn dalam tanah, seluruh tanaman didalam kebun yang sama biasanya akan menunjukkan gejala. Penyebaran gejala yang tidak merata merupakan indikator yang sangat penting bagi adanya penyakit CVPD. Selama musim hujan, gejala defisiensi Zn biasanya tidak begitu tampak. Buah pada cabang-cabang terinfeksi biasanya tidak dapat berkembang normal dan berukuran kecil, terutama pada bagian yang tidak terkena cahaya matahari. Pada pangkal buah biasanya muncul warna orange yang berlawanan dengan buah-buah sehat. Buah-buah yang terserang rasanya masam dan bijinya kempes, tidak berkembang dan berwarna hitam.
Gejala dalam yang terjangkit CVPD adalah pada irisan melintang tulang tengah daun jeruk berturut-turut dari luar hingga ketengah daun akan terlihat jaringan-jaringan epidermis, kolenkim, sklerenkim dan floem. Menurut Tirtawidjaja (1964) gejala dalam pada tanaman jeruk yang terkena CVPD adalah:
1. Floem tulang daun tanaman sakit lebih tebal dari floem tulang daun tanaman sehat.
2. Pada floem tulang daun tanaman sakit terdapat sel-sel berdinding tebal yang merupakan jalur-jalur mulai dari dekat sklerenkim sampai dekat xilem. Dinding tebal tersebut adalah beberapa lapis dinding sel yang berdesak-desakan.
3. Didalam berbagai jaringan dalam daun terjadi pengumpulan secara berlebihan butir- butir halus zat pati.
Berdasarkan hasil identifikasi terakhir dilaporkan bahwa penyakit CVPD disebabkan oleh bakteri Liberobacter asiaticum yang hidup dan hanya berkembang pada jaringan floem, akibatnya sel- sel floem mengalami degenerasi sehingga menghambat tanaman menyerap nutrisi. Walaupun terdapat di floem, tetapi penyebarannya di bagian tanaman cukup lambat. Penyakit CVPD dapat ditemukan pada semua jenis jeruk yang terdapat di Indonesia.
Pada tahun1983, penyakit CVPD menyebabkan kerugian senilai Rp 26,4 milyar. Sementara itu direktorat jenderal pertanian tanaman pangan (1984) melaporkan bahwa CVPD telah memusnahkan jutaan pohon jeruk di Indonesia. Kehilangan jeruk oleh penyakit tersebut ditaksir 50.000 ton buah per tahun (Hutagalung, 1985).
Bakteri patogen mempunyai bentuk pleomorpik (beberapa bentuk). Bentuk batang panjang yang sedang tumbuh berukuran 100-250 x 500-2.500 nm, yang berbentuk sperical (membulat) diameternya 700-800 nm. Bakteri ini tidak dapat dikulturkan. L. asiaticum hidup di dalam jaringan floem, mengakibatkan sel-sel floem mengalami degenerasi sehingga menghambat tanaman menyerap nutrisi. Penyebaran ke bagian tanaman lain tergolong lambat, meskipun bakteri hidup dalam floem. Gejala baru terlihat 4-6 bulan setelah tanaman terinfeksi. Bahkan di lapangan, gejala terlihat jelas setelah 1-3 tahun. Penyebaran CVPD antar daerah atau kebun (secara geografis) biasanya melalui mata-tempel atau bibit terinfeksi, sedangkan penyebaran di dalam kebun antar tanaman melalui serangga kutu loncat (Diaphorina citri) atau mata-tempel yang terinfeksi. Tipe hubungan patogen dalam tubuh serangga pembawa (vektor) bersifat persisten, sirkulatif dan non propagatif, artinya jika vektor CVPD telah mengandung L. asiaticum maka bila kondisinya ideal selama hidupnya akan terus mengandung bakteri, tetapi tidak diturunkan pada anaknya. Kutu loncat baru dapat menularkan CVPD pada tanaman sehat setelah menghisap bakteri dari tanaman sakit minimal 48 jam kemudian menghisap tanaman sehat selama 168-360 jam. Penularan melalui alat-alat pertanian terkontaminasi perlu diwaspadai seperti yang dilaporkan di Thailand. Sebaran geografis penyakit ini sangat luas terdapat pada hampir di semua sentra jeruk di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan NTB. Kalimantan yang selama ini bebas, mulai dicurigai tercemar juga. Penyakit ini ditemukan di daerah dengan ketinggian rendah (10 m dpl.) sampai ketinggian 1.000 m dpl. Sebagian besar varietas komersial peka terhadap penyakit ini. Varietas jeruk besar dan Konde Purworejo toleran.
Tanaman inang lain patogen CVPD adalah anggota rutaceae seperti Poncirus tripoliata, Murraya paniculata, swing lea glutinosa, Clausena indica, Atalantia missionis, Triphasia aurantiola, tapak dara dan Cuscuta sp. (dirjen tanaman pangan).
Diaphorina citri disamping berperan sebagai vektor CVPD, juga dapat menyebabkan kerusakan langsung pada tanaman jeruk. Namun perannya sebagai vektor CVPD jauh lebih penting dibanding sifatnya sebagai hama.
1. Tanda serangan
D. citri menyerang tangkai, kuncup bunga dan daun, tunas serta daun-daun muda. Bagian tanaman yang terserang parah biasanya mengering secara perlahan-lahan kemudian mati. Serangan ringan mengakibatkan tunas-tunas muda mengeriting dan pertumbuhannya terhambat. Kutu juga menghasilkan sekresi berwarna putih transparan berbentuk spiral, biasanya diletakkan berserak di atas daun atau tunas.
2. Biologi dan perilaku
D. citri mempunyai tiga stadium hidup yaitu telur, nimfa, dan dewasa. Telur berwarna kuning terang berbentuk seperti buah alpukat, diletakkan secara tunggal atau berkelompok di kuncup permukaan daun-daun muda, atau ditancapkan pada tangkai-tangkai daun, setelah 2-3 hari telur menetas menjadi nimfa. Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok di tunas-tunas dan kuncup untuk menghisap cairan tanaman. Setelah berumur 2 atau 3 hari, nimfa menyebar dan menyerang daun-daun muda. Nimfa berwana kuning sampai coklat dan mengalami 5 kali pergantian kulit. Nimfa lebih merusak tanaman daripada kutu dewasanya. Stadium nimfa berlangsung selama 17 hari.
Pada kondisi panas siklus hidup dari telur sampai dewasa berlangsung antara 16-18 hari, sedangkan pada kondisi dingin berlangsung selama 45 hari. Perkawinan segera berlangsung setelah kutu menjadi dewasa dan segera bertelur setelah terjadi perkawinan. Seekor betina mampu meletakkan 800 butir telur selama masa hidupnya. D.citri mampu menghasilkan 9-10 generasi dalam 1 tahun. Stadium dewasa ditandai oleh adanya sayap sehingga mudah meloncat apabila terkena sentuhan. Serangga dewasa berwarna coklat tua, dengan panjang tubuh 2-3 mm. Apabila sedang menghisap cairan sel tanaman, D. citri memperlihatkan posisi menungging. D. citri lebih aktif pada saat tanaman jeruk dalam fase istirahat. D. citri dewasa hinggap pada daun tua dan menghisap cairan selnya. Stadium dewasa ini bisa bertahan hidup selama 80-90 hari.
Kutu dewasa pertama yang membentuk koloni pada awal periode pertunasan sering kali sangat infektif dan membawa bakteri penyebab penyakit pada tunas-tunas baru. Populasi D. citri yang viruliferous dari suatu populasi sangat bervariasi. Tingkat penularan yang sangat tinggi ditentukan oleh ketepatan kutu menusukkan stiletnya pada tanaman sakit. Pada kondisi alamiah, penyebaran CVPD tergantung pada jumlah inokulum bakteri pada tanaman, kepadatan populasi vektor, lamanya periode inoculation feeding.
Pengendalian penyakit CVPD harus dilakukan secara terpadu. Faktot- faktor yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan CVPD tersebut antara lain :
1. Pengadaan dan penggunaan bibit jeruk bebas penyakit
Pengadaan bibit mendapat pengawasan dari balai pengawasan dan sertifikasi benih (BPSB). Dalam rangka ini, pusat penelitian dan pengembangan hortikultura telah mengembangkan teknik sambung tunas pucuk (shoot tip grafting, STG) seperti di Riau, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Bali.
2. Pengendalian serangga vektor
Serangga penularan dalam penyebaran CVPD adalah D. citri. Vektor ini menularkan CVPD dipersemaian dan kebun serta terutama ditemukan pada tunas (Tirtawidjaja, 1964). Agar populasinya tidak bertambah, penggunaan pestisida dapat dipertimbangkan. Insektisida yang dapat mengendalikan populasi vektor tersebut diantaranya dimethoate (perfekthion, roxion 40 EC, rogor 40 EC, cygon) yang diaplikasikan pada daun atau disuntikan pada batang, dan edosulfan (dekasulfan 350 EC). Aplikasi insektisida hendaknya dilakukan pada saat tanaman menjelang dan ketika bertunas. Selain penggunaan pestisida, penggunaan agensia hayati juga bisa dilakukan untuk pengendalian kutu loncat ini yaitu dapat dikendalikan oleh dua parasit nimfa: Tamarixia radiata dan Diaphorencyrtus aligarhensis dengan tingkat parasitisme berturut-turut 90 % dan 60-80 %. Predator seperti Curinus coeruleus juga mampu mengendalikan populas hama ini. Entomopatogen Hirsutella sp. dapat menginfeksi kutu dewasa hingga 60%.
3. Penggunaan antibiotika oksitetrasiklin
Tanaman jeruk yang terkena CVPD dengan tingkat serangan ringan, masa produktivitasnya dapat diperpanjang dengan infusan oksitetrasiklin HCI konsentrasi 200 ppm. Penyembuhan yang terjadi hanya bersifat sementara sehingga cara ini harus diulangi. Untuk memperoleh hasil optimum, tanaman yang telah diinfus harus dipupuk dan mendapat pengairan yang cukup (Hutagalung, 1985).
4. Eradikasi
Produksi tanaman yang terserang CVPD adalah rendah, tanaman jarang bahkan tidak menghasilkan buah. Tanaman sakit tersebut merupakan sumber inokulum bagi tanaman disekitarnya. Dengan demikian, tanaman sakit harus dimusnahkan melalui eradikasi.
5. Karantina
Dalam rangka mencegah CVPD, telah dikeluarkan surat keputusan menteri pertanian nomor 129/Kpts/Um/3/1982 yang isinya melarang pengangkutan tanaman / bibit jeruk dari daerah endemik ke daerah yang masih bebas CVPD.
6. Sterilisasi alat-alat
Mengingat bahwa penyakit dapat menular melalui alat-alat pertanian yang digunakan seperti gunting pangkas, pisau okulasi dan semacamnya, maka perlu dilakukan sterilisasi alat-alat itu bisa dengan cara dipanaskan selama 10-15 menit menggunakan api lilin sebelum digunakan pada tanaman jeruk yang belum terinfeksi.
7. Pemetaan daerah terkena penyakit CVPD
Data ini sangat penting untuk penyusunan program secara lengkap. Data yang diperlukan adalah jumlah daerah perbanyakan jeruk, jumlah tanaman yang terkena CVPD, intensitas/tingkat serangan, penyebaran penyakit, cara pengendalian serta pengembangan pengendalian penyakit CVPD.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kerugian akibat penyakit CVPD sangat besar sehingga penyakit ini menjadi penyakit yang penting di Indonesia.
2. Penyakit CVPD disebabkan oleh bakteri Liberobacter asiaticum yang biasanya ditularkan melalui serangga vektor Diaphorina citri.
3. Pengendalian penyakit CVPD dapat dilakukan secara terpadu, yaitu antara lain : Pengadaan dan penggunaan bibit jeruk bebas penyakit, pengendalian serangga vektor, penggunaan antibiotika oksitetrasiklin, eradikasi, karantina, sterilisasi alat-alat dan pemetaan daerah serangan terkena penyakit CVPD.
4.2 Saran
Petani seharusnya lebih memperhatikan dan tekun dalam perawatan komoditas jeruk yang dibudidayakan, terutama pada buahnya yang dimana akan meminimalisir terserangnya CVPD.
No comments:
Post a Comment