I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Budidaya tanaman dalam dunia pertanian merupakan suatu hal
yang tidak terlepaskan dari benak masyarakat Indonesia karena notabene Negara
Indonesia adalah Negara Agraris yang mempunyai lebih dari 30 % luas wilayah
Indoesia adalah areal pertanaian. Pertanian Indonesia terletak dan tersebar
mulai dari Sabang sampai Merauke, tiap daerah memiliki keunikan tersendiri
dalam mengolah dan mengelola tanaman budidaya. Keunikan dan perbedaan ini yang
menjadikan modal daasar untuk dilakukan pengembangan dewngan menggabungkan
beberapa metode yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang menunjang perkembangan
ilmu pengetahuan merupakan suatu kebutuhan yang harus disebarkan untuk dapat
dinikmati dan dimanfaatkan oleh semua orang. Penyebaran teknologi baru sering
mengalami kendala karean pada umumnya masyarakat Indonesia masih percaya akan
adanya tahayul dan memegang erat kearifan budaya local masing-masing daerah.
Untuk dapat menyebar luaskan suatu teknologi baru harus dilakukan sesuai dengan
adat yang berlaku, sehingga secara lambat laun akan mampu masuk dan menjadi
sebuah kebiasaan.
Sistem teknologi agroforestry merupakan system teknologi yang
baru yang sedang berkembang di Indonesia, system ini diadopsi karena adanya
pergesaran fungsi lahan dan semakin rusaknya sumber daya lahan (potensi lahan)
untuk menyediakan unsure hara untuk kebutuhan tanaman. Tanaman yang ditanam
dalam suatu lahan agar dapat menghasilkan suatu hasil yang akan dipanen
membutuhkan tersedianya semua factor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan tersebut
meliputi segala aspek kimia, biologi dan fisika.
Selain penggunaan system baru yang dipercaya mampu meberikan
hasil yang lebih baik, penggunaan benih unggul harus diterapkan dalam budidaya
tanaman agar menambah hasil yang akan diperoleh. Penggunaan benih unggul juga
harus disesuaikan dengan lahan atau wilayah tempat budidaya. Benih unggul
mempunyai karakteristik dan syarat tumbu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi
perlakuan pada saat pemuliaanya.
Sistem pengairan juga perlu diperhatikan dlam upaya mendukung
pertanan yang optimal. Sistem pengairan yang baik akan menunjang ketersediaan air
yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Air yang digunakan
juga harus memnuhi standart air yang sehat, yaitu air yang bersih, bebas
penyakit, limabh (nbaik itu pwstisida atau limbah lainnya). Penggunaan air yang
telah tercemar akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman akibat
rusaknya sel tanaman atau akibat terserang penyakit.
1.2
Tujuan
Mengetahui system budidaya yang dilakukan di Golden Leaf Farm
dan mengetahui system pengairan di Subak, Bali.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya tanaman
merupakan upaya yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan dan memproduksi
tanaman untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pertanian konvensional ditandai dengan pemakaian pupuk dan
pestisida sintetis secara intensif memberikan dampak yang sangat merugikan
seperti pencemaran lingkungan, residu pestisida pada makanan, terganggunya
kesehatan manusia, terbunuhnnya organisme berguna, hama menjadi tahan terhadap
pestisida dan munculnnya masalah resurgensi ( Arya, 1996; Oka, 1998).
Penggunaan pupuk sitetis memang dapat meningkatkan beberapa jenis hara namun
mengganggu penyerapan unsur hara lainnya serta keseimbangan hara dalam tanah.
Pupuk
sintetis juga menekan pertumbuhan mikroba tanah menyebabkan berkurangnya humus
dalam tanah. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut maka perlu dikembangkan
pertanian organik yang berlandaskan teknologi alternatif berupa recycling unsur
hara dengan menggunakan sisa bahan organik sebagai pupuk, fiksasi nitrogen,
menggunakan musuh alam serta mengurangi pemakaian bahan-bahan kimiawi. Pada
prinsipnya pertanian organik mengurangi eksternal input, mempertahankan
sumber-sumber alami dan melindungi mkesehatan manusia dan lingkungan (Untung,
1997; Yuliantini dan Ibrahim, 1999).
Pertanian organik adalah
sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan
kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan
dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Lahan yang digunakan
untuk produksipertanian organik harus bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk
dan pestisida). Terdapat dua pilihan lahan:
1. Lahan pertanian yang baru dibuka
atau,
2. Lahan pertanian intensif yang telah
dikonversi menjadi lahan pertanian organik.
Lama masa konversi
tergantung sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman (Diah
dkk, 2004).Pemanfaatan mikrobia tanah untuk meningkatkan dan mempertahankan
kesuburan tanah dalam sistem pertanian organik sangat penting. Peran mikrobia
dalam tanah antara lain adalah daur ulang hara, penyimpanan sementara dan
pelepasan untuk dimanfaatkan oleh tanaman lain (Rahmawati, 2006).
Ciri Umum Petani Organik
Petani
organik umumnya memiliki lahan usaha sendiri dan luasnya rata-rata lebih dari 1
Ha. serta memiliki peralatan pertanian lebih baik dari petani non-organik.
Petani organic membuka usahanya pada lahan terpencil jauh dari pertanian nonorganik,
serta memagari lahan mereka dengan pagar hidup sebagai perangkap hama/penyakit
yang datang dari luar, seperti tanaman sungenge, lamtoro, keraci atau rumput
gajah. Pertanian ini hanya memakai pupuk dan pestisida organik yang mereka buat
sendiri, serta menerapkan teknologi pengendalian hama penyakit terpadu dengan
baik. Pada kebun pertanian organik, petani biasanya memelihara ternak berupa
sapi, babi atau ayam yang sangat diperlukan untuk mendapatkan kotoran ternak
yang dapat langsung digunakan sebagai pupuk atau membuat bokashi. Tenaga kerja
yang digunakan pada pertanian organik sebagian besar tenaga upahan,baik sebagai
pegawai tetap atau tidak tetap. Rata-rata keuntungan yang diperoleh oleh petani
organik lebih tinggi dari non organik terutama pada saat ramainya kunjungan
wisatawan yaitu , Januari, Juni-juli dan Desember. Produknya umumnya di jual
dengan sistim kontrak pada hotel-hetel atau sualayan di Denpasar (Sudana,2004).
Ciri Umum Petani Konvensional
Pertanian
sayuran Konvensional telah lama berkembang di Bali, mereka sangat tergantung
pada pupuk dan pestisida sintetik, akibatnya tanah mereka menjadi rusak dan
banyak yang keracunan pestisida. Pada saat-saat musim panen atau produksi
tinggi harga komuditas pertanian nonorganik sangat rendah, bahkan sering tidak
menutupi biaya produksi yang tinggi. Petani ini sebagian besar memiliki
peralatan pertanian lebih sederhana dari pertanian organik. Lahan yang dimiliki
oleh pertanian nonorganik bervariasi, bagi petani miskin kurang dari 50 are
sedangkan yang kaya lebih dari 1 Ha. Petani yang memiliki lahan luas biasanya
lebih sering menanam kentang karena mereka mempunyai modal cukup dan jika
berhasil akan memberikan hasil yang jauh lebih baik dari tanaman lainnya.
Tenaga kerja yang digunakan oleh petani berlahan kecil hanya menggunakan tenaga
keluarga sedang yang mempunyai lahan luas menggunakan tenaga keluarga dan
upahan. Pemasaran hasil dilakukan pada pengepul atau menjual langsung ke pasar
terdekat (Sudana,2004).
Sistem pengairan yang baik akan mendukung terjaminya
pertanian yang berkelanjutan. Sistem pengairan yang baik adalah system
pengairan yang mampu menyediakan air bagi tanaman pada saat tanaman
membutuhknanya. Sistem pengairan yang baik tidak hanya terjaga ketersediaan
air, namun air yang ada harus memnjadi air yang sehat, tidak tercemar oleh
bahan-bahan berbahaya.
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang
khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia.
Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura
Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi
kemakmuran dan kesuburan dewi Sri.
Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang
petani di Bali. Revolusi hijau telah
menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin,
dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan
sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang
baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi
kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem
pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi
kendala ini (Anonim, 2010).
Subak sebagai sistem irigasi tradisional yang khas Bali sudah
dikenal sejak tahun 1071 Masehi sehingga sampai sekarang kalau dihitung-hitung
usianya telah mencapai berabad-abad sehingga boleh dikatakan merupakan bagian
kehidupan (way of life) yang tidak terpisahkan dari masyarakat Bali.Dalam Subak
sendiri terkandung makna filosofis kehidupan yang dalam tentang bagaimana
mewujudkan kebersamaan dan hubungan yang harmonis antara Tuhan dengan manusia,
manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam semesta, di mana konsep
ini dikenal oleh masyarakat Bali sebagai konsep Tri Hita Karana (THK) (Anonim,
2010).
Sebagai layaknya suatu organisasi tentu di dalamnya ada yang
memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam organisasi Subak terdapat anggota,
pengurus danpimpinan Subak yang memiliki peran, tugas dan tanggung jawab
masing-masing. Selain itu Subak memiliki awig-awig air (peraturan adat) yang
harus dipatuhi oleh semua anggotanya dan sanksi hukum adat bagi anggota yang
melanggar aturan organisasi. Bagi petani, hubungan religius antara Tuhan dengan
manusia sebagai makhluk ciptaanNya diwujudkan dalam bentuk pemujaan terhadap
Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan dan Kemakmuran yang
telah memberikan tanah pertanian yang subur, air irigasi yang cukup dan hasil
panen yang melimpah serta permohonan agar senantiasa tetap diberikan kesuburan
dan kemakmuran bagi lahan pertaniannya (Anonim, 2010).
Konteks hubungan antara manusia dengan sesama manusia
ditonjolkan aspek sosial yang mengetengahkan rasa kebersamaan dan gotong
royong. Hal ini bisa digambarkan semisal suatu organisasi Subak mengalami
kekurangan air karena lokasinya yang jauh dari sungai, maka sudah merupakan
kejadian yang lumrah apabila organisasi itu meminjam air dari organisasi Subak
lainnya atas dasar saling percaya.Selanjutnya dalam konteks hubungan dengan
alam semesta difokuskan pada upaya menjaga dan memelihara kelestarian
lingkungan. Para petani membuat sawah-sawah mereka umumnya dikemiringan lereng
bukit dalam bentuk sengkedan (terasering) sebagai upaya mencegah agar tidak
terjadi longsor (Anonim, 2010).
Di samping itu sungai sebagai sumber pengairan dan keperluan
hajat hidup lainnya mesti dijaga kebersihannya agar tidak tercemar atau
terkontaminasi dengan zat-zat polutan yang membahayakan kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya.Sebagai warisan sosio-kultural Subak yang menjadi
landasan kebudayaan masyarakat Bali berdasarkan konsep THK, sudah sepatutnya
harus dijaga kelestariannya sampai kapanpun. Dalam dimensi yang lain, sebagai
bentuk warisan kearifan lokal (local wisdom) Subak telah mampu menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan, sosial dan religius yang luhur dalam hati sanubari
masyarakat Bali (Anonim, 2010).
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum
dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 26 November 2010 – Minggu 28 November
2010, bertempat di Subak sistem Jembrana dan di Golden Leaf farm Bedugul Bali.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Alat Tulis
2. Kamera
3. Buku
4. Angket quisioner
3.2.1 Bahan
1. Padi (subak)
2. Mix salad, paper
mint, thyme (golden leaft farm)
3.3 Cara Kerja
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terhadap
narasumber dengan metode quisioner, dan merekam obyek, serta memotret obyek
praktikum sebagai dokumentasi pendukung untuk menyusun laporan acara field trip
subak sistem ini.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1
Golden Leaf Farm Bulelenf-Bali
·
Luas
lahan yang dikelaola : 9,8 Ha (lahan utama +
plasma)
·
Ketinggian
lahan dari permukaan laut : 800 dpl
(plasma), 1300 m
dpl (lahan utama)
·
Kemiringan
lereng : 30 %
·
Kontur :
Berlereng
·
Tipe
Iklim :
Tropis
·
Jenis
Tanah :
Inistosol (lempung berpasir)
·
Sumber
Air :
Sumur Bor (60 m) dan air
Penyulingan sumber air
·
Sistem
tanam yang digunakan :
Campuran (Tumpangsari
dengan tanaman herbal)
·
Sistem
pengairan :
Sistem pengairan tetes dan
Sprinkle (musim kemarau)
·
Jarak
tanam :
25 x 25 cm
·
Ukuran
bendengan :
L = 80 cm, P = Sesuai
kontur, T = 20 cm
·
Pupuk
dasar :
Bokashi, kompos
·
Pupuk
susulan :
Disuntik perlubang dengan
urine sapi 200 ml pada
periode ke 2 dan ke 3
setelah periode 4 kemudian
dibongkar
·
Pemanfaatan
ZPT : Tidak menggunakan ZPT
·
Penggunaan
urine :
Pada tanaman herbal
menggunakan urin kelinci
kemudian disusul dengan
urin sapi
·
Jenis
Tanaman
: 1. Papermint (untuk sariawan)
2. Thime (untuk panas dalam)
3. Kamomite
4. Bunga wortel
5. Selad pomain
6. Asitaba
7. Seppermint
8. Bedrot
9. Italian basil
10. Amarantus
11. Rukola
·
Produk
yang dihasilkan : 1. Packing untuk hotel dan
restaurant
(30 macam salad)
2. Salad Supermarket
3. Spinach
4. Rukola
5. Mix Salad
6. Mix Letuces
7. Oester dan Bean
8. Fruit
9. Herbal
4.1.2
Siste Pengaira Subak Tiba
Paras - Jembrana Bali
·
Luas
lahjan yang dikelaola : Subak menangani 51 hektar
yang dimilki oleh 83 orang
·
Ketinggian
lahan dari permukaan laut : 300
m dpl
·
Kemiringan
lahan :
15-30 %
·
Kontur :
Berlerng
·
Tpe
Iklim :
Tropis
·
Jenis
tanaman :
Padi dan Kedelai
·
Jenis
tanah :
(inistosol)Lempung berpasir
·
Sistem
tanaman yang digunakan :
Monokultur
·
Varietas
yng digunakan :
Padi (Ciherang, IR 64)
·
Jarak
tanam :
15 x 15 cm atau 20 x 20 cm
·
Persemaian
padi :
20 hari
·
Metode
tanam :
TABELA
·
Kebutuhan
benih / ha :
50 kg/ ha
·
Pemupukan
:
Urea 200 /ha (10 Hst)
Ponska 200/ ha
(30 Hst)
·
Pengolahan
lahan :
Dicangkul dan dibajak
dengan kerbau.
·
Penanganan
pasca panen padi :
Gabah dijemur setelah itu
dikemas didalam karung
Pola tanam / Rotasi :
Padi – bera – Padi
Padi – padi – Padi (setelah 3 tahun)
·
Kearifan
budaya local :
1. Dalam menjalankan
pertaniannya masyarakat
subak berfalsafah Tri Hita
Karana.
2. Pemanfaatan pohon
kintamani sebagai pengusir
hama wereng
4.2.1 Pembahasan
Golden leaf farm terletak di desa
Wanagiri kawasan wisata Bedugul, Kabupaten Buleleng-Bali. Golden Leaf Farm di
Bali merupakan lahan pertanian organik yang menghasilkan tanaman organik
pertama dan terbesar di Bali.Total luas lahan yang dikelola Bapak Johannes H. Hassannusi adalah 9,8 ha yang terdiri dari
lahan utama yang terletak didaerah Kebun Goblek, dan ada 17 plasma yang
terletak di sekitar danau Baratan Bedugul-Bali. Pada lahan utama (kebun Goblek)
meniliki ketinggian lahan 1300 m dari permukaan laut, sedangkan pada lahan
plasma 800 m dpl. Kemiringan lahan mencapai 300 dengan kontur
sejajar. Tipe iklim.
Sistem pertanian organic dan yang digaabungkan dengan tanaman
herbal memberikan keuntungan yaitu sebagai pengusir pengganggu karena bau atau
rasa yang diakibatkan oleh tanaman herbal yang ditanam, ada kurang lebih 21
macam tanaman herbal yang tersebar pada lahan 9,8 Ha. Tiap harinya bapak
Johannes dibantu oleh para karyawan nya harus menyediakan sayuran, tanaman
herbal, dan umbi kurang untuk 128 pelanggan yang tersebar di kawasan Bali,
Jakarta, Surabaya dan Medan. Dalam satu minggu beliau dapat memanen lahan yang
diusahakannya kurang lebih 5 kali, tiap pane nada kurang lebih 3 kwintal
sayuran, umbi dan tanaman herbal yang harus dipanen untuk memnuhi kebutuhan
pemesannya.
Pertanian organic merupakan salah satu system lama yang telah
ada di dunia pertanian dan sekarang mulai digalakan kembali karena tunutan dari
konsumen yang mengharakan kesehatan dan kehigienisan. Sistem pertanian organic
dilakukan dengan cara budidaya tanaman tanpa menggunakan bahan-bahan sintetik apapun,
artinya dalam usaha perkembangannya tidak menggunakan bahan-bahan kimia.
Bahan-bahan yang digunakan dalam system pertanian organic adalah bahan-bahan
yang berasal dari alam baik itu berasal dari hewan, tumbuhan dan manusia.
Sistem tanam yang digunakan adalah
tumpangsari dan rotasi. Jenis tanaman yang ditanam mayoritas adalah tanaman
herbal dan hortikultura. Asal benih tanaman Salad berasal dari Jerman.
Kebutuhan benih setiap 10 hari membutuhkan 52.000 biji salad. Sistem pertanaman
yang diterapkan secara konvensional dengan tanaman kopi yang kemudian diganti
dengan tanaman kentang. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk organik yaitu
bokashi dan kompos sebagai pupuk dasar kemudian pupuk dari urin sapi dan urin
kelinci sebagai pupuk susulan.
Dalam system penanaman yang
dilakukan di GLF (Golden Leaf Farm) secara jelas dapat dilihat adalah dengan
menggunakan system budidaya campuran ayaitu antara monokultur, agroforestry dan
juga system tumpangsari.Pengertian dari agroforestry sering dikenal dengan
istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam
pepohonan di lahan pertanian. Menurut Notohadiprawiro (2006) agroforestry
memiliki ciri-ciri tersendiri dan tidak hanya sekedar memadukan kehutanan,
pertanian dan peternakan. Dengan demikian, terdapat sejumlah ciri yang
membatasi pengertian agroforestry dengan sistem lainnya (Notohadiprawiro, 2006). Ciri system
sgroforestry :
1. Budidaya tanaman menetap di satu
bidang lahan
2. Mengkombinasikan penanaman semusim
dan tahunan secara berdampingan dan berurutan, baik dengan menggunakan ternak
ataupun tidak.
3. Menerapkan pengusahaan yang
diupayakan sesuai (compatible) dengan kebiasaan petani setempat.
Merupakan sistem pemanfaatan lahan, yang pertanaman
pertanian, perhutanan dan atau peternakan menjadi anasirnya(component)
baik secara struktur maupun fungsi. Berdasarrkan pengertian diatas, system
penanaman yang dilakukan di GLF sudah dapat dikatakan dengan system
agroforestry karena didalamnya terdapat interaksi antara pohon-pohon naungan
(pohon sekitar) untuk menjadi pohon yang berguna bagi pertumbuhan tanaman
utama. Selain itu, letak dari GLF yang masuk ditengah kawasan hutan yang masih
alami menjadikan GLF tampak seperti pertanian di dalam hutan.
Sistem lain yang diterapkan dan dapat menjadi sebuah inovasi
dalam bidang pertaqnian di Indonesia adalah dengan pemanfaatan air bekas proses
sortir. Air yang digunakan untuk proses sortasi cukup banyak dan cukup
merugikana apabila dibunag percuma. Beliau, Bapak Johannes, menerapkan system
pengolahan air kembali dengan memanfaatkan enceng gondok sebagai agen yang
digunkan untuk mensterilkan air bekas proses dortir dari kemungkinan adanya
sisa-sisa pestisida organic yang diberikan pada sayuran. Sebagai sumber air
beliau menggunakan sumber air tanah (bor) dengan tujuan air yang dihasilkan
lebih bersih, bebas dari pencemaran. Sistem pemberian air pada tanaman yang
dikembangkan beliau adalah dengan system tetes (Driped system). Pemberian air
pada tanaman dengan system tetes dilakukan tiap hari dengan frekuensi 2 kali per
hari yaitu pada jam 8 pagi dan jam 4 sore.
Pemberian air dengan system tetes ini memberikan banyak keuntungan,
selain akan menghemat air, pennyerapan air oleh tanaman alan lebih efektif
karena diberikan secara bertahap. Berbeda halnya dengan pemberian air dengan
cara disiramkan, air yang diberikan akan banyak terbuang dan terserap oleh
tanah.
Inovasi lain dan baru dari GLF dalam dunia hortikultura di
Bali adalah dengan adanya system pencampuran produk yang dihasilkan (mix salad).
Pencampuran ini dimaksudkan agar tanaman-tanaman (jenis salad) yang dihasilkan
lebih menarik, lebih lengkap dan mampu mengangkat harga untuk tanaman salad
yang berukuran kecil (diluar criteria). GLF memproduksi 2 jenis Mix, yaitu Mix
salad dan Mix Letuces. Mis salad menggabungkan 11 macam jenis salad yang ada
dalam lahan GLF, untuk tiap item terdapat 2-3 helai daun. Harga yang ditawarkan
untuk Mix salad per 200 gram adalah Rp. 11.000. Untuk Mix Letuces dilakukan hal
yang sama, yaitu menggabungkan 6 macam jenis lettuces (labu-labuan) dan
ditawarkan seharga Rp. 8.000 per 250 gram.
Hal lain yang ditawarkan dan membedakan GLF dengan penghasil produk
hortikultura lainya adalah produk-produk yang dihasilkan GLF (salad) adalah ready
to eat (langsung siap makan). Produk-produk yang dihasilakn oleh GLF memberikan
jamina pada konsumen untuk siap langsung dimakan karena pihak GLF memebrsihkan
produk yang dijual sebanya 2 kali dengan
air mngalir dan pada bilasan terakhir menggunkan air suling yang telah
disterilisasi dengan aktivator sinar UV. Sehingga dapat dipastikan sudah
steril.
Media penyimpanan yang digunakan setelah proses sortir adalah
sebuah ruangan pendingin yang dibuat sendiri oleh Pak Johannes secara sederhana
namun mampu menampung dan menyimpan sayuran yang telah dipanen sehari
sebelumnya. Chiller (pendingin yang dibuat beliau) mempunyai ukuran 3 x 3 m.
Chiller yang digunakan adalah 2 jenis, yang memdedakannya adalah ukuran suhu
yang digunakan. Pada Chiller untuk hasil sortiran (sebelum pengemasan) digunkan
Chiller dengan suhu ruangan < 5 º C dengan tujuan mampu menjaga kesegaran komoditas.
Sedangkan setelah proses pengemasan dengan menggunakan plastic polietilen yang
mempunyai tingkat ketebalan tertentu. Setelah proses pengemasan dengan
menggunakan plastic polietilen, bahan yang telah terbungkus akan disimpan untuk
menjaga kesegarannya sampai esok hari. Chiller yang digunkan dalam pendinginan
setelah pengemasan dengn suhu < 10 º C, dengan tambahan pelapisan alumunium
foil pada dinding untuk lebih menjaga suhu agar tetap.
Pada lalah pertanian daerah Jembrana-Bali (Subak Tiba Paras)
yang lebih diutamakan adalah pengelolaan pengairan yang baik yang berdasarkan
atas adat yang berlaku. Suatu system yang dikelola dan dikembangkan dengan
berdasarkan atas suatu adat akan mempunyai nilai yang kuat dan mengikat,
sehingga mampu memberikan pengawasan secara terpadu.
Sistem budidaya yang baik adalah system yang mampu
menyediakan air bagi tanaman yang membutuhkannya. System pengairan harus
mempunyai kemampuan menyediakan air dalam jumlah yang cukup, tidak hanya itu,
system tersebut harus mampu menyediakan air yang sehat dan bebas dari
pencemaran (limbah baik limbah pertanian atau limbah lain yang mempunyai sifat
racun).
Sistem
pengairan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Bali adalah dengan menggunkan
system Subak. Sistem pengairan Subak mampu memberikan air dalam jumlah yang
cukup untuk kebutuhan tanaman. Untuk
subak yang kami gunakan pengamatan terletak di desa tunas mekar, kecamatan
negara,Kabupaten Jembrana, subak ini
bernama subak tiba paras yang mampu mneghendel sebanyaak 51 hektar sawah milik
warga sekitar 83 pemililik di desa
tersbut. Lahan yang dikelola oleh subak tiba paras ini termasuk daerah dataran
rendah dengan ketinggian 300 dpl dan
kemiringan 30 % dan termasuk iklim tropis dimana daerah ini termasuk daerah
atas pantai dan masih termasuk perbukitan
jadi untuk jenis tanahnya yaitu lempung berpasir sehingga tanaman yang
cocok dibudidayakan dalam lahan ini tanaman jenis tanaman pangan. Tanah lempung
berpasir bertekstur halus dan gembur, drainasenya kurang baik sebab pada tanah
gembur terdapat ruang pori-pori yang dapat diisi oleh air tanah dan udara,
sehingga tanah memiliki daya pegang atau daya simpan air yang tinggi. Tanah
yang gembur sangat baik untuk pertumbuhan tanaman sebab air tanah dan udara
bergerak lancar, temperatur stabil, yang akhirnya dapat memacu pertumbuhan
jasad renik tanah dalam proses pelapukan bahan organik di dalam tanah.
Untuk merangsang atau mempercepat
pertumbuhan vegetatif padi maka ditambahkan pupuk NPK pada masa pertumbuhan
vegetatif yakni pada saat 10 HST, dan ditambahkan pada hari ke 21 sesuai
kebutuhan agar kebutuhan tanaman padi akan unsur N terpenuhi. Untuk menunjang
pertumbuhan vegetatif padi unsur N sangat mutlak diperukan, fungsi unsur N
selain untuk merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman padi juga berfungsi untuk
merombak protein, dan klorofil, unur N diserap tanaman dalam bentuk ion atau
senyawa NH3 Jumlah klorofil yang cukup sangat diperlukan untuk
proses fotosintesis tanaman yakni suatu proses yang dilakukan tumbuhan untuk
menghasilkan makanan yakni berupa glukosa atau amilum dan menghasilkan hasil
sampinan berupa O2.
Benih yang
digunakan dalam pertanain ini berasal dari benih membeli di koperasi unit desa
( KUD ) setempat melalui organisasi
subak tersbut, sesuai kesepakatan yang
ditentukan dalam organisasi subak setiap pemilik lahan dalam mengelola tanaman
padi diwajibakan membeli padi di KUD dan jenis padi yang diguanakan juga telah
ditentukan yakni jenis padi ciherang. Sistem seperti ini dilakukan agar tidak
terjadi persaingan antar pemilik lahan sehingga persaudaraan dan kebersamaan
antar warga tetap terjaga dengan baik. Dalam penanaman padi yanag dilakukan
pada setiapa hektar lahan memerlukan benih sebesar 50 kg
Sedangkan jarak tanam 15 x 15 juga digunakan oleh sebagian
petani dikarenakan untuk kepentinga mempertahankan hasil atau produktivitas
padi dari serangan keong mas atau Pomacea
caniculata meskipun pada jarak tersebut persaingan padi dalam memperoleh
nutrisi sangat ketat dan pencahayaan kurang optimal karena antara satu padi
dengan padi lainnya saling menutupi. Tetapi jika dibandingkan antara dua model
jarak tanam tersebut hasilnya hampir sama, pada jarak 20 x 20 cm memiliki
keunggulan dalam penyerapan unsur hara (lebih optimal). Sedangkan pada jarak 15 x 15 cm lebih tahan
terhadap serangan hama keong mas atau Pomacea
caniculata.Untuk pengendalian hama penyakit masih menggunakan cara
konvensionak yaitu measih menggunakan pestisida sintetik. Pestisida yang
digunakan rata-rata diketahui oleh petani melalui informasi yang diperoleh dari
penyuluh setempat dan dari para petugas KUD.
Rata –
rata hasil panen dalam satu hektar lahan mencapai 90 kg/are atau 9 ton/ha yang
pada setiap hektar mendapatkan uang senilai antara Rp 1. 600.000, Rp 1.700.000,
Rp 1.500.000 ini tergantung kondisi hasil panen tanaman padi yaang
dibudidayakan karena tidak setiap lahan sama dalam menghsilkan produksi
tergantung dari faktor – faktor yang mempengaruhi produksi misalnya yang
membedakan cara pgolahan lahan dan adanya serangan organisme pengganggu
tanaman.
Semua proses pertanain yanag dilakukan masyarakat Bali tidak terlepas dari pengaruh
adat buadaya, mulai pengolahan lahan hingga pemenenan setiapa kali selalu
mengunakan upacara adat dengan maksud agar proses adat yang dilakukan
dilindungi oleh tuhan Yang Maha Esa. Jadi sugesti adat yang dipercayai warga
ini apabila tiadak dilakukan maka akan terjadi mala petaka dalam proses
pertanaian yanag diusahakannnya, maka semua warga patuh akan tetuah yanag
diberiakan sehingga para petani di Bali mengutamakan kejujuran dan persaudraan
dalam pengelolaan pertanaian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1. Subak merupakan organisasi petani
lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama, serta
mempunyai kebebasan didalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun di dalam
berhubungan dengan pihak luar.
2. Kearifan budaya lokal masyarakat Bali
yakni adanya falsafah Tri Hita Karana sangat berperan dalam mendukung
kelestarian alamnya, sehingga pertanian di Bali berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan.
3. Golden leaf
farm Bali ini merupakan suatu usaha pertanian organik terletak yang berada
dilereng pegunungan dengan ketinggian sekitar
1200 dpl, maka secara geologi kemiringan lahan mencapaai kontur 30 %,
dengan suhunya mencapai 14 - 28º C dan curaha hujan yang tinggi.
4. Sistem
pertanian yang digunakan dalam system Subak masih secara tradisional namun
untuk penggunaan benih sudah menggunakan benih yang bersertifikat (inovasi).
5.2
Saran
Pengamatan yang dilakukan harus sedetail mungkin agar
memeberikan data yang lengkap. Selain itu, pengamatan harus dilakukan dengan
serius agar memudahkan dalam penyususan laporan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010.
Sistem Subak. http://bataviase.co.id/node/275766.
diakses pada tanggal 05 Desember 2010.
Arya, N.; Wirawan, G.P; G.R.M. Temaja,; G.N.A. Susanta
K.T. Dinata; K. Ohsawa 1996. Farming system and inventory of mayor disease of
vegetable in higland growing area Candikuning of Bali. In Report of Integrated
Research on Sustainable Highlang and Upland Agricultural Systems in Indonesia.
89-111.
Diah Setyorini, dkk.
2004. Pengelolaan Lahan untuk
Budidaya Sayuran Organik. Balai Penelitian Tanah : Bogor.
Notohadiprawiro,
Tejoyuwono. 2006. Seminar Agroforestry dan Pengendalian Peladangan tahun
1981. Yogyakarta: Ilmu tanah Universitas gadjah Mada.
Oka, I.N. 1998. Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Rahmawati, Nini. 2005. Pemanfaatan Biofertilizer pada Pertanian
Organik. Fakultas Pertanian SUMUT : Medan-Sumatera Utara.
Sudana, Made. 2003. Monitoring Aktivitas Petani dan Analisis Ekonomi Pertanian Sayuran Organik
dan Konvensional pada Daerah Dataran Tinggi Bali. Jurnal Ilmu
Pertanian. Vol. 2 (3): 1-10.
Untung, K. 1997. Peranan pertanian organik dalam
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sem. Nas. Pertanian Organik, Jakarta 3
April 1997. Yayasan Bumi Lestari, Jakarta. 4p.
No comments:
Post a Comment