BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Iklim dan cuaca adalah
faktor penentu yang dapat mempengaruhi hasil pertanian secara langsung, karena
dengan keadaan lingkungan (cuaca atau iklim) tanaman dapat menjalankan
aktifitas metabolism dengan sewajarnya. Dan apabila terjadi keadaan lingkungan
yang menyimpang maka terjadi penyimpangan juga pada proses metabolisme yang
terjadi didalam tanaman sehingga dapat mempengaruhi kualitas hasil dari
produksi.
Iklim adalah suatu
keadaan keseluruhan suatu wilayah dengan merata-rata hasil pengukuran cuaca,
sehingga dapat dikatakan bahwa iklim merupakan bagian umum dari cuaca,
sedangkan cuaca sendiri adalah bagian khususnya. Cuaca dapat dijelaskan sebagai
keadaan dari wilayah tertentu pada waktu yang tertentu pula, atau keadaan
actual dari iklim. Iklim sangat berpengaruh dalam dunia pertanian, karena iklim
dapat mempengaruhi hasil potensial dari suatu tanaman, seperti tanaman padi
perhektarnya mempunyai kemampuan potensial menghasilkan gabah kering 4-6 ton
setiap panennya, akan tetapi perkiraan potensial tersebut belum tentu dapat
terjadi secara langsung dilapangan, karena yang dapat mempengaruhi hasil aktual
dari padi tersebut adalah cuaca, atau keadaan liingkungan sekitar tanaman
tersebut. Sehingga dapat dikatakan penting untuk mempelajari iklim dan cuaca
untuk memperkirakan dan juga melihat secara langsung atau aktualisasi dari
hasil panen yang diperoleh.
Dari pengertian yang
telah dijelaskan diatas dapat diketahui arti penting dari mempelajari suatu
iklim dan cuaca yang terjadi, karena dengan mengetahui kondisi iklim dan cuaca
kita dapat mengetahui jenis apa yang akan kita tanaman pada waktu tersebut,
bagaimana pemeliharaannya dan juga bagaimana mengelola sumber daya alam yang
ada disekitar lahan tersebut. Seperti mengetahui klasifikasi iklim menurut
oldeman, kita dapat mengetahui bagaimana pola tanaman yang harus dilakukan,
apakah itu sepanjang tahun harus padi terus-menerus, atau dua kali padi yang
diselingi dengan palawija atau bahkan satu kali padi dan dua kali palawija.
1.2
Tujuan
dan Manfaat
1.2.1
Tujuan
1
Untuk mengetahui cara pemanfaatan data curah hujan untuk
penetapan klasifikasi iklim dan menentukan kesesuaiaannya dengan jenis tanaman.
1.2.2
Manfaat
-
Mengetahui cara
pemanfaatan data curah hujan untuk penetapan klasifikasi iklim.
-
Menentukan
kesesuaiaannya dengan jenis tanaman.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Cuaca adalah keadaan udara
pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit dan pada jangka
waktu yang singkat. Cuaca itu terbentuk dari gabungan unsur cuaca dan jangka
waktu cuaca bisa hanya beberapa jam saja. Misalnya: pagi hari, siang hari atau
sore hari, dan keadaannya bisa berbeda-beda untuk setiap tempat serta setiap
jamnya. Di Indonesia keadaan cuaca selalu diumumkan untuk jangka waktu sekitar
24 jam melalui prakiraan cuaca hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), Departemen Perhubungan. Untuk negara negara yang sudah maju perubahan
cuaca sudah diumumkan setiap jam dan sangat akurat (tepat). Sedangkan Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata
dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama
(minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas. Ada beberapa unsur yang
mempengaruhi cuaca dan iklim, yaitu suhu udara, tekanan udara, kelembaban udara
dan curah hujan (Bayong T, 1999).
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya
udara. Alat untuk mengukur suhu udara atau derajat panas
disebut thermometer. Biasanya
pengukuran dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F).
Suhu udara tertinggi di muka bumi adalah di daerah tropis (sekitar ekuator) dan
makin ke kutub, makin dingin. Di lain pihak, pada waktu kita mendaki gunung,
suhu udara terasa dingin jika ketinggian bertambah. Kita sudah mengetahui bahwa
tiap kenaikan bertambah 100 meter, suhu udara berkurang (turun) rata-rata 0,6 oC.
Penurunan suhu semacam ini disebut gradient
temperatur vertikal atau lapse
rate. Pada udara kering, besar lapse rate adalah 1 oC.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara suatu daerah adalah: a) Lama
penyinaran matahari, b) Sudut datang sinar matahari, c) Relief permukaan bumi,
d) Banyak sedikitnya awan, dan e) Perbedaan letak lintang.
Pemanasan
secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi keadaan cuaca atau iklim.
Pemanasan secara langsung dapat terjadi melalui beberapa proses, seperti Proses
absorbs, yaitu penyerapan unsur-unsur radiasi matahari, misalnya sinar
gama, sinar-X, dan ultra-violet. Unsur unsur yang menyerap radiasi matahari
tersebut adalah oksigen, nitrogen, ozon, hidrogen, dan debu. Proses refleksi, suatu pemanasan
matahari terhadap udara tetapi dipantulkan kembali ke angkasa oleh butir-butir
air (H2O), awan, dan partikel-partikel lain di atmosfer. Dan melalui
Proses difusi, Sinar matahari
mengalami difusi berupa sinar gelombang pendek biru dan lembayung berhamburan
ke segala arah. Proses ini menyebabkan langit berwarna biru.
Sedangkan
untuk Pemanasan tidak langsung dapat terjadi dengan cara seprti Konduksi adalah pemberian panas oleh
matahari pada lapisan udara bagian bawah kemudian lapisan udara tersebut
memberikan panas pada lapisan udara di atasnya. Konveksi adalah pemberian panas oleh gerak udara vertikal ke
atas. Adveksi adalah pemberian
panas oleh gerak udara yang horizontal (mendatar). Turbulensi adalah pemberian panas oleh gerak udara yang tidak
teratur dan berputar-putar ke atas tetapi ada sebagian panas yang dipantulkan
kembali ke atmosfer.
Menurut
W. estiningsih dan L. I. Amien (2006), di udara terdapat uap air yang berasal
dari penguapan samudra (sumber yang utama). Sumber lainnya berasal dari
danau-danau, sungai-sungai, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Makin tinggi suhu
udara, makin banyak uap air yang dapat dikandungnya. Hal ini berarti makin
lembablah udara tersebut. Alat untuk mengukur kelembaban udara dinamakan hygrometer
atau psychrometer. Ada dua macam kelembaban udara, yaitu 1) Kelembaban
udara absolut, ialah banyaknya uap air yang terdapat di udara pada suatu
tempat. Dinyatakan dengan banyaknya gram uap air dalam 1 m³ udara. 2)
Kelembaban udara relatif, ialah perbandingan jumlah uap air dalam udara
(kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum yang dapat dikandung oleh
udara tersebut dalam suhu yang sama dan dinyatakan dalam persen (%).
Unsur-unsur iklim yang menunjukan
pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim.
Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi).
Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim
sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan
dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang
tersebut (Lakitan, 2002).
Bayong T (1999) menyatakan bahwa
tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim
ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu.
Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada
kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.
Indonesia adalah negara yang
sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu
pengklasifikasian iklim di Indonesia sering ditekankan pada pemanfaatannya
dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada daerah tropik suhu udara jarang menjadi
faktor pembatas kegiatan produksi pertanian, sedangkan ketersediaan air
merupakan faktor yang paling menentukan dalam kegiatan budidaya pertanian
khususnya budidaya padi.
Variasi suhu di kepulauan Indonesia
tergantung pada ketinggian tempat (altitude/elevasi), suhu udara akan semakin
rendah seiring dengan semakin tingginya ketinggian tempat dari permukaan laut.
Suhu menurun sekitar 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan ketinggian
tempat. Keberadaan lautan disekitar kepulauan Indonesia ikut berperan dalam
menekan gejolak perubahan suhu udara yang mungkin timbul (Lakitan, 2002).
Hujan merupakan unsur fisik
lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga
merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara
umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara
umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai
kriteria utama (Lakitan, 2002). Bayong T (1992) mengungkapkan bahwa dengan
adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah
melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya
korelasi antara tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu
atau presipitasi dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
Sistem iklim ini sangat terkenal di
Indonesia. Penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih
banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut
Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering
seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klsifikasi iklim Mohr. Pencarian
rata-rata bulan kering atau bulan basah (X) dalam klasifikasian iklim
Schmidt-Ferguson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering
atau bulan basah selama tahun pengamatan dengan banyaknya tahun pengamatan (n).
Schmidt-Fergoson membagi tipe-tipe
iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai
berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan
tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe
iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang
mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis
vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan
savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim G
(sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H (ekstrim
kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang.
Seperti
halnya metode Schmidt-Ferguson, metode Oldeman (1975) hanya memakai unsur curah
hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Bulan
basah dan bulan kering secara
berturut turut yang dikaitkan dengan pertanian untuk daerah daerah tertentu.
Maka penggolongan iklimnya dikenal dengan sebutan zona agroklimat (agro-climatic classification).
Misalnya jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang cukup untuk
membudidayakan padi sawah, sedangkan untuk sebagian besar palawija maka jumlah
curah hujan minimal yang diperlukan adalah 100 mm tiap bulan. Musim hujan
selama 5 bulan dianggap cukup untuk membudidayakan padi sawah selama satu
musim. Dalam metode ini, bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai
jumlah curah hujan sekurang-kurangnya 200 mm. Meskipun lamanya periode
pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis yang digunakan, periode 5 bulan
basah berurutan dalam satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika
lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat menanam padi sebanyak 2 kali masa
tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat
membududayakan padi tanpa irigasi tambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Estiningsih, W; dan L. I. Amien. 2006. Pengembangan
Model prediksi Hujan dengan metode filter klaman untuk menyusun scenario masa
tanam. Balai penelitian Agroklimat Dan
Hidrologi 7 (3). http://www.scribd.com/document_downloads/. Diakses pada 16
November 2009.
Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafondo Pustaka. Jakarta.
Susanti, Erni; F. Ramadhani; dan E. Runtunuwu, I.
Amien. 2009. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Serangan Organisme Pengganggu
Tanaman. Balai Penelitian Agroklimat Dan Hidrologi 7 (1). http://balitklimat.litbang.deptan.go.id. Diakses pada 16
November 2009.
Tjasyono, Bayong. 1992. Klimatologi Terapan. Pionir Jaya. Bandung.
Tjasyono, Bayong. 1999. Klimatologi Umum. FMIPA – ITB. Bandung.
Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan
Hama dan Penyakit Tanaman. http://www.scribd.com/document_downloads/. Diakses pada 16
November 2009.
No comments:
Post a Comment