Sunday, March 25, 2012

iklim latar belakang n tipus


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Iklim dan cuaca adalah faktor penentu yang dapat mempengaruhi hasil pertanian secara langsung, karena dengan keadaan lingkungan (cuaca atau iklim) tanaman dapat menjalankan aktifitas metabolism dengan sewajarnya. Dan apabila terjadi keadaan lingkungan yang menyimpang maka terjadi penyimpangan juga pada proses metabolisme yang terjadi didalam tanaman sehingga dapat mempengaruhi kualitas hasil dari produksi.
Iklim adalah suatu keadaan keseluruhan suatu wilayah dengan merata-rata hasil pengukuran cuaca, sehingga dapat dikatakan bahwa iklim merupakan bagian umum dari cuaca, sedangkan cuaca sendiri adalah bagian khususnya. Cuaca dapat dijelaskan sebagai keadaan dari wilayah tertentu pada waktu yang tertentu pula, atau keadaan actual dari iklim. Iklim sangat berpengaruh dalam dunia pertanian, karena iklim dapat mempengaruhi hasil potensial dari suatu tanaman, seperti tanaman padi perhektarnya mempunyai kemampuan potensial menghasilkan gabah kering 4-6 ton setiap panennya, akan tetapi perkiraan potensial tersebut belum tentu dapat terjadi secara langsung dilapangan, karena yang dapat mempengaruhi hasil aktual dari padi tersebut adalah cuaca, atau keadaan liingkungan sekitar tanaman tersebut. Sehingga dapat dikatakan penting untuk mempelajari iklim dan cuaca untuk memperkirakan dan juga melihat secara langsung atau aktualisasi dari hasil panen yang diperoleh.
Dari pengertian yang telah dijelaskan diatas dapat diketahui arti penting dari mempelajari suatu iklim dan cuaca yang terjadi, karena dengan mengetahui kondisi iklim dan cuaca kita dapat mengetahui jenis apa yang akan kita tanaman pada waktu tersebut, bagaimana pemeliharaannya dan juga bagaimana mengelola sumber daya alam yang ada disekitar lahan tersebut. Seperti mengetahui klasifikasi iklim menurut oldeman, kita dapat mengetahui bagaimana pola tanaman yang harus dilakukan, apakah itu sepanjang tahun harus padi terus-menerus, atau dua kali padi yang diselingi dengan palawija atau bahkan satu kali padi dan dua kali palawija.

1.2  Tujuan dan Manfaat

1.2.1        Tujuan
1        Untuk mengetahui cara pemanfaatan data curah hujan untuk penetapan klasifikasi iklim dan menentukan kesesuaiaannya dengan jenis tanaman.

1.2.2 Manfaat
-         Mengetahui cara pemanfaatan data curah hujan untuk penetapan klasifikasi iklim.
-         Menentukan kesesuaiaannya dengan jenis tanaman.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Cuaca adalah keadaan udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit dan pada jangka waktu yang singkat. Cuaca itu terbentuk dari gabungan unsur cuaca dan jangka waktu cuaca bisa hanya beberapa jam saja. Misalnya: pagi hari, siang hari atau sore hari, dan keadaannya bisa berbeda-beda untuk setiap tempat serta setiap jamnya. Di Indonesia keadaan cuaca selalu diumumkan untuk jangka waktu sekitar 24 jam melalui prakiraan cuaca hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Departemen Perhubungan. Untuk negara negara yang sudah maju perubahan cuaca sudah diumumkan setiap jam dan sangat akurat (tepat). Sedangkan Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas. Ada beberapa unsur yang mempengaruhi cuaca dan iklim, yaitu suhu udara, tekanan udara, kelembaban udara dan curah hujan (Bayong T, 1999).
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat untuk mengukur suhu udara atau derajat panas disebut thermometer. Biasanya pengukuran dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Suhu udara tertinggi di muka bumi adalah di daerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub, makin dingin. Di lain pihak, pada waktu kita mendaki gunung, suhu udara terasa dingin jika ketinggian bertambah. Kita sudah mengetahui bahwa tiap kenaikan bertambah 100 meter, suhu udara berkurang (turun) rata-rata 0,6 oC. Penurunan suhu semacam ini disebut gradient temperatur vertikal atau lapse rate. Pada udara kering, besar lapse rate adalah 1 oC.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara suatu daerah adalah: a) Lama penyinaran matahari, b) Sudut datang sinar matahari, c) Relief permukaan bumi, d) Banyak sedikitnya awan, dan e) Perbedaan letak lintang.
Pemanasan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi keadaan cuaca atau iklim. Pemanasan secara langsung dapat terjadi melalui beberapa proses, seperti  Proses absorbs, yaitu penyerapan unsur-unsur radiasi matahari, misalnya sinar gama, sinar-X, dan ultra-violet. Unsur unsur yang menyerap radiasi matahari tersebut adalah oksigen, nitrogen, ozon, hidrogen, dan debu. Proses refleksi, suatu pemanasan matahari terhadap udara tetapi dipantulkan kembali ke angkasa oleh butir-butir air (H2O), awan, dan partikel-partikel lain di atmosfer. Dan melalui Proses difusi, Sinar matahari mengalami difusi berupa sinar gelombang pendek biru dan lembayung berhamburan ke segala arah. Proses ini menyebabkan langit berwarna biru.
Sedangkan untuk Pemanasan tidak langsung dapat terjadi dengan cara seprti Konduksi adalah pemberian panas oleh matahari pada lapisan udara bagian bawah kemudian lapisan udara tersebut memberikan panas pada lapisan udara di atasnya. Konveksi adalah pemberian panas oleh gerak udara vertikal ke atas. Adveksi adalah pemberian panas oleh gerak udara yang horizontal (mendatar). Turbulensi adalah pemberian panas oleh gerak udara yang tidak teratur dan berputar-putar ke atas tetapi ada sebagian panas yang dipantulkan kembali ke atmosfer.
Menurut W. estiningsih dan L. I. Amien (2006), di udara terdapat uap air yang berasal dari penguapan samudra (sumber yang utama). Sumber lainnya berasal dari danau-danau, sungai-sungai, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Makin tinggi suhu udara, makin banyak uap air yang dapat dikandungnya. Hal ini berarti makin lembablah udara tersebut. Alat untuk mengukur kelembaban udara dinamakan hygrometer atau psychrometer. Ada dua macam kelembaban udara, yaitu 1) Kelembaban udara absolut, ialah banyaknya uap air yang terdapat di udara pada suatu tempat. Dinyatakan dengan banyaknya gram uap air dalam 1 m³ udara. 2) Kelembaban udara relatif, ialah perbandingan jumlah uap air dalam udara (kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum yang dapat dikandung oleh udara tersebut dalam suhu yang sama dan dinyatakan dalam persen (%).
Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi). Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).
Bayong T (1999) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.
Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia sering ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada daerah tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi pertanian, sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan dalam kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi.
Variasi suhu di kepulauan Indonesia tergantung pada ketinggian tempat (altitude/elevasi), suhu udara akan semakin rendah seiring dengan semakin tingginya ketinggian tempat dari permukaan laut. Suhu menurun sekitar 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan ketinggian tempat. Keberadaan lautan disekitar kepulauan Indonesia ikut berperan dalam menekan gejolak perubahan suhu udara yang mungkin timbul (Lakitan, 2002).
Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Lakitan, 2002). Bayong T (1992) mengungkapkan bahwa dengan adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klsifikasi iklim Mohr. Pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah (X) dalam klasifikasian iklim Schmidt-Ferguson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau bulan basah selama tahun pengamatan dengan banyaknya tahun pengamatan (n).
Schmidt-Fergoson membagi tipe-tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H (ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang.
Seperti halnya metode Schmidt-Ferguson, metode Oldeman (1975) hanya memakai unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Bulan basah dan bulan kering secara berturut turut yang dikaitkan dengan pertanian untuk daerah daerah tertentu. Maka penggolongan iklimnya dikenal dengan sebutan zona agroklimat (agro-climatic classification). Misalnya jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah, sedangkan untuk sebagian besar palawija maka jumlah curah hujan minimal yang diperlukan adalah 100 mm tiap bulan. Musim hujan selama 5 bulan dianggap cukup untuk membudidayakan padi sawah selama satu musim. Dalam metode ini, bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan sekurang-kurangnya 200 mm. Meskipun lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis yang digunakan, periode 5 bulan basah berurutan dalam satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat menanam padi sebanyak 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membududayakan padi tanpa irigasi tambahan.


DAFTAR PUSTAKA

Estiningsih, W; dan L. I. Amien. 2006. Pengembangan Model prediksi Hujan dengan metode filter klaman untuk menyusun scenario masa tanam. Balai penelitian Agroklimat Dan Hidrologi 7 (3). http://www.scribd.com/document_downloads/. Diakses pada 16 November 2009.
Lakitan, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafondo Pustaka. Jakarta.
Susanti, Erni; F. Ramadhani; dan E. Runtunuwu, I. Amien. 2009. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Serangan Organisme Pengganggu Tanaman. Balai Penelitian Agroklimat Dan Hidrologi 7 (1). http://balitklimat.litbang.deptan.go.id. Diakses pada 16 November 2009.
Tjasyono, Bayong. 1992. Klimatologi Terapan. Pionir Jaya. Bandung.
Tjasyono, Bayong. 1999. Klimatologi Umum. FMIPA – ITB. Bandung.
Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. http://www.scribd.com/document_downloads/. Diakses pada 16 November 2009.

No comments:

Post a Comment