BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Karet merupakan
salah satu komoditas perkebunan unggulan yang terdapat didaerah jember. Bagian
tanaman karet yang memiliki harga jual yang tinggi adalah bagian lateksnya atau
bagian getah dari tanaman karet. Karet adalah salah satu penyumbang devisa
terbesar bagi negara Indonesia, hal ini dikarenakan pada saat ini alat yang
paling populer digunakan oleh manusia dalam mempermudah melakukan aktivitasnya
yaitu menggunakan kendaraan yang mana kendaraan tersebut salah satu bagiannya
adalah terbuat dari karet (latek). Olah raga yang populer dan mendunia yaitu
sepak bola juga membutuhkan bahan karet. Jadi dari keterangan diatas, karet
merupakan salah satu komoditi yang memiliki jalur pemasaran yang luas. Ekspor
Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan
dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 2.0
juta ton pada tahun 2005. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada semester
pertama tahun 2006 mencapai US$ 2.0 milyar, dan diperkirakan nilai ekspor karet
pada tahun 2006 akan mencapai US $ 4,2 milyar.
Karet diperdagangkan dalam bentuk lateks. Karena
manfaatnya yang begitu besar dan mendasar, maka banyak negara yang
membudidayakannya secara besar-besaran untuk dijadikan komoditas perdagangan
internasional yang menguntungkan, termasuk Indonesia. Saat ini
Indonesia bersama Malaysia dan Thailand merupakan salah satu produsen karet
alam terbesar dunia. Dengan kondisi alam yang sangat sesuai untuk
tanaman karet dan lahan yang tersedia sangat luas, maka kemungkinan besar
Indonesia menjadi produsen karet terbesar dunia dengan kualitas terbaik dapat
diwujudkan. Hal ini merupakan tugas pemerintah, lembaga-lembaga penelitian,
perkebunan dan perguruan tinggi karena masing-masing lembaga mempunyai metode
tersendiri untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi karet Indonesia,
yang akhirnya memberikan kesejahteraan kepada petani pada umumnya dan petani
karet pada khususnya.
Sejumlah
lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet,
sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan
karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik
rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik
swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai 2.2 juta ton.
Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan melakukan peremajaan dan
memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani serta lahan kosong/tidak
produktif yang sesuai untuk perkebunan karet. Dengan memperhatikan adanya
peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan
datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan
tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk
dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa
memberikan modal bagi petani atau perkebunan swasta untuk membiayai pembangunan
kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Permintaan
yang terus meningkat, terutama dari China, India, Brazil dan negara-negara yang
mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia-Pasifik. Menurut IRSG
(International Rubber Study Group), dalam studi Rubber Eco-Project (2005),
diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua dekade ke
depan. Karena itu pada kurun waktu 2006-2025, diperkirakan harga karet alam
akan stabil sekitar US $ 2.00/kg.
1.2
Tujuan
1.
Memberikan wahana aplikasi
keilmuan bagi mahasiswa.
2.
Memberikan pengalaman
dan melatih ketrampilan mahasiswa dalam menganalisa intensifikasi teknologi
budidaya Karet.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama
Hevea brasiliensis yang berasal dari Negara Brazil lalu menyebar ke Nepal,
India, Pakistan, Banglades, Sri Langka, Myanmar, Thailan, Laos, Kamboja,
Vietnam dan Cina Selatan. Setelah percobaan berkali-kali dilakukan oleh Henry
Wickham, tanaman karet berhasil dikembangkan di Asia Tenggara. Tanaman karet di
Indonesia, Malaysia dan Singapura mulai dibudidayakan sejak tahun 1876. Tanaman
karet di Indonesia pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor (Wibowo, 2008).
Tinggi tanaman karet dapat mencapai 20 meter atau lebih.
Sedangkan umur biologi bisa mencapai 100 tahun. Tetapi karena ekonomi umur
tanaman karet yang diusahakan hanya menguntungkan umur 25 – 30 tahun. H.
brasiliensis bersifat uniseksual (berkelamin satu) dan monoceous (berumah
satu). Bunga betina dan bunga jantan terdapat dalam satu karangan bunga
(inflorescentia) yang sama. Setiap inflorescentia terdiri dari satu tangkai
utama yang disebut poros bunga dengan 5 – 14 malai sebagaicabang-cabang
samping. Bunga betina terdapat pada ujung tangkai utama dan ujung dari
cabang-cabangnya. Pada cabang-cabang bawah bunga tersebut duduk bunga-bunga
jantan. Berdasarkan letak kedua bunga tersebut dapat dijadikan bahwa pada
ujung-ujung sumbu yang lebih dekat dengan jalan saluran makanan pada umumnya
duduk bunga betina, karena energi yang dibutuhkan untuk pembentukan bunga
betina lebih besar daripada bunga jantan. Bunga betina ukurannya lebih besar
dari bunga jantan, tetapi jumlahnya lebih sedikit (Tumpal, 1995).
Peranan karet alam di Provinsi Jambi dpat dilihat dari
luas areal dan juga jumlah penduduk yang bergantung pada industri perkaretan
yang meliputi petani karet, pedagang karet, buruh dan karyawan pabrik pengolah
serta instansi yang terkait baik langsung maupun tidak langsung. Jumlah tenaga
kerja yang terserap oleh komoditas karet tercatat 414 ribu tenaga atau 55% dari
total tenaga kerja sub sektor perkebunan. Pada tahun 2000, karet rakyat
Provinsi Jambi mencakup seluas 543 ribu ha atau 97% dari total luas areal karet
di Provinsi Jambi, dngan total produksi sekitar 224 ribu ton. Secara umum
permasalahan yang ditemui pada perkebunan karet rakyat di Provinsi Jambi adalah
rendahnya hsil serta beragam dan rendahnya mutu bahan olah karet (bokar). Hal
ini disebabkan antara lain masih luasnya areal tua yang perlu diremajakan,
yaitu sekitar 87 ribu ha yang etrsebar di 6 kabupaten sentra karet. Sellain
itu, data statistik menunjukkan bahwa luas areal karet rakyat yang mampu
dibangun melalui berbagai proyek selama 20 tahun hanya sekitar 30 ribu ha atau
14% dari karet di Provinsi Jambi (Yulia, 2008).
Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin
khususnya Brazil, sehingga diberi nama ilmiah Hevea brasiliensis (Setiawan dan
Andoko, 2005). Di Indonesia perkebunan besar karet baru dimulai di Sumatera
pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. Sedangkan perkebunan karet rakyat
dimulai sekitar tahun 1904 -1910. Produktivitas yang rendah merupakan
permasalahan karet di negara kita, dengan salah satu penyebab adalah kurangnya
informasi tentang klon unggul di kalangan petani karet merupakan penyebab karet
yang ditanam umumnya berasal dari bibit lokal yang belum teruji
produktivitasnya. Pemeliharaan dalam budidaya tanaman karet merupakan pekerjaan
yang sangat penting karena akan menentukan keberhasilan pertanaman karet di
kemudian hari. Perawatan tanaman karet sebelum
berproduksi terdiri atas : penyulaman, penyhangan, pemupukan, seleksi
dan penjarangan serta pemeliharaan tanaman penutup tanah (Hamidah, 2007).
Hutan memiliki sumberdaya yang menghasilkan kayu sebagai
komoditas pokok, tetapi juga memilik sumberdaya hasil hutan bukan kayu (HHBK)
seperti madu, tanaman obat, rotan, hewan buruan, damar, resin dan lainnya.
Salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat
yaitu getah/resin jernang. Produk getah jernang merupakan hasil hutan non kayu
dengan nilai ekonomis tinggi. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa pengumpulan
getah jernang sudah semakin langka. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya upaya
penanaman kembali (budidaya). Untuk itu perlu dikembangkan pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu yang memiliki nilai ekonomis, salah satunya yaitu rotan jernang.
Rotan jernang merupakan tanaman yang dimanfaatkan
oleh masyarakat Jambi sejak zaman dahulu. Resin/getah jernang dapat menjadi
sumber pendapatan masyarakat karena memiliki nilai ekonomis dan ada pangsa pasarnya.
Jika selama ini rotan jernang di manfaatkan oleh masyarakat dengan jalan mencari/memanen
di dalam hutan, seiring semakin berkurangnya tutupan hutan dan kelangkaan
tanaman jernang di Sarolangun, maka di masyarakat mulai muncul inisiasi untuk membudidayakan
dan menanam tanaman jernang di dalam kebun-kebun karet masyarakat atau yang
biasa di sebut dengan pola agroforestry, karena agroforestry karet telah umum dilakukan
oleh masyarakat Jambi (Ardi, 2011).
Bertanam secara tumpangsari (sebagai tanaman sela) di
bawah tegakan tanaman perkebunan merupakan salah satu alternatif dalam budidaya
talas ternaungi. Bertanam secara tumpangsari merupakan bentuk modifikasi pertanaman
ganda, terdiri atas dua jenis tanaman atau lebih yang ditanam pada lahan yang
sama dan waktu tanam sama atau berbeda tetapi masih dalam fase vegetatif. Di
lahan tidur di bawah tegakan karet belum menghasilkan (TBM) yang selama ini belum
dioptimalkan pemanfaatannya, talas dapat dikombinasikan sebagai tanaman sela.
Menurut BPS potensi lahan TBM yang dapat dimanfaatkan sekitar 1,5 juta hektar.
Kendala utama yang dihadapi pada budidaya tanaman seperti ini ialah rendahnya
intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanaman talas. Di Indonesia, teknik budidaya tanaman sela di
bawah tegakan tanaman perkebunan sudah lama dilakukan oleh petani. Penanaman
berbagai tanaman pangan di bawah tegakan karet sudah biasa dilakukan oleh
petani. Petani melakukan budidaya tanaman sela umumnya masih secara sampingan
(Djukri, 2006).
Secara garis besar tanaman karet dapat tumbuh baik pada
kondisi iklim sebagai berikut : suhu rata-rata harian 28° C (dengan kisaran
25-350 C) dan curah hujan tahunan rata-rata antara 2.500 – 4.000 mm dengan hari
hujan mencapai 150 hari per tahun. Pada daerah yang sering turun hujan pada
pagi hari akan mepengaruhi kegiatan penyadapan. Angin juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan pertanaman karet, angin yang kencang dapat mematahkan tajuk
tanaman. Di daerah berangin kencang dianjurkan untuk ditanamai penahan angin di
sekeliling kebun. Selain itu angin menyebabkan kelembaban udara di sekitar
tanaman menipis. Dengan keadaan demikian akan memperlemah turgor tanaman.
Tekanan turgor yang lemah berpengaruh terhadap keluarnya lateks pada waktu
sadap, walaupun tidak berpengaruh nyata, tetapi angin akan berpengaruh terhadap
jumlah produksi yang diperoleh (Djoehana, 1993).
Pada lahan-lahan bekas tambang yang berada dekat
pemukiman penduduk, seyogyanya vegetasi lahan perlu dilakukan dengan
menggunakan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis dan dapat dikelola
setelah lahan tersebut diserahkan kepada penduduk. Salah satu jenis tanaman
perkebunan yang dapat digunakan sebagai alternatif kegiatan revegetasi memiliki
nilai ekonomis tinggi adalah tanaman karet. Beberapa keunggulan tanaman karet
yaitu: (1) memiliki tingkat toleransi terhadap kemasaman tanah; (2) karet masih
sangat menguntungkan diusahakan dalam sekala kecil dan menangah; dan (3)
teknologi pengolahannya sangat dipahami masyarakat umum. Keberhasilan revegetasi
tersebut selain berdampak terhadap aspek sosial ekonomi juga terhadap aspek
konservasi lingkungan (Akhmad, 2009).
Potensi
pasokan kayu sebagai bahan baku industri perkayuan yang berasal dari hutan alam
semakin berkurang baik dari segi mutu maupun volumenya. Dengan berkembangnya
teknologi pengolahan dan pengawetan kayu karet, pemanfaatan kayu karet saat ini
semakin meluas sehingga kebutuhan bahan baku dari kayu karet semakin meningkat.
Potensi kayu karet untuk diolah sebagai bahan baku industri cukup besar. Luas
tanaman karet pada tahun 1997 sekitar 3.4 juta hektar. Jika setiap tahunnya
dapat diremajakan 3 persen saja dari perkebunan besar dan 2 persen dari
perkebunan rakyat, maka akan diperoleh sekitar 2.7 juta m3/tahun.Dalam
pengelolaan kayu karet di lapangan terdapat berbagai kendala di antaranya masih
banyak kebun karet terutama karet rakyat yang tidak mempunyai akses jalan,
rendemen kayu karet yang rendah, suplai kayu karet umumnya hanya tersedia pada
musimmusim tertentu saja, dan lokasi pabrik pengolahan (pengawetan) jauh dari
lokasi kebun sehingga nilai guna dan nilai ekonomis kayu karet masih rendah.
Sampai saat ini kebutuhan kayu sebagian besar masih dipenuhi dari hutan alam. Persediaan
kayu dari hutan alam setiap tahun semakin berkurang, baik dari segi mutu maupun
volumenya. Hal ini disebabkan kecepatan pemanenan yang tidak seimbang dengan
kecepatan penanaman, sehingga tekanan terhadap hutan alam makin besar. Disisi
lain kebutuhan kayu untuk bahan baku industri semakin meningkat, hal ini
berarti pasokan bahan baku pada industri perkayuan semakin sulit, kalau hanya
mengandalkan kayu yang berasal dari hutan
alam, terutama setelah kayu ramin,
meranti putih, dan agathis dilarang untuk diekspor dalam bentuk kayu gergajian.
Kondisi ini perlu ditanggulangi sedini mungkin agar tidak terjadi kesenjangan
antara potensi pasokan kayu hutan dengan besarnya kebutuhan kayu. Usaha untuk
memenuhi permintaan kayu tersebut dapat dipenuhi melalui pengusahaan hutan
produksi, seperti pembangunan hutan tanaman industri, walaupun hasilnya belum
memuaskan. Oleh karena itu perlu dicari jenis kayu substitusi yang dapat
memenuhi persyaratan untuk berbagai keperluan. Kayu karet yang dihasilkan dari
perkebunan karet merupakan alternatif yang dapat dipertimbangkan. Perkebunan
karet di Indonesia cukup luas dan sebagian sudah waktunya diremajakan (Dwi,
2010).
Penyakit
gugur daun corynespora umumnya pertama kali menyerang daun
karet yang masih muda, dengan
gejala berupa bercak hitam pada urat atau tulang daun. Gejala tersebut baru
akan terlihat setelah daun berwarna hijau muda atau hijau tua. Pada priode
selanjutnya gejala tersebut akan berkembang mengikuti tulang atau urat daun
meluas ke bagian lainnya sehingga bercak akan tampak seperti tulang ikan.
Apabila kondisi lingkungan menguntungkan maka gejala ini akan bertambah meluas
dimana bercak akan berbentuk bulat atau tidak teratur. Pada bagian tepi bercak
berwarna cokelat dan terdapat sirip-sirip berwarna cokelat atau hitam dengan
bagian pusat kering. Selanjutnya daun-daun yang sakit tersebut
akan menguning atau cokelat dan
akhirnya. Sumatera selatan merupakan sentra perkebunan karet yang rawan akan
serangan penyakit gugur daun tersebut. Serangan cendawan Corynespora cassiicola
dapat mengakibatkan gugurnya daun secara terus menerus sehingga tanaman
meranggas sepanjang tahun. Akibatnya pertumbuhan tanaman karet menjadi kerdil
dan terhambat sehingga tidak mampu atau sedikit menghasilkan latek. Serangan
lanjut dapat mengakibatkan matinya tanaman karet (Nurhayati, 2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Akmad,
S. 2009. Respon Tanaman Karet Pada Lahan Pasca Tambang Batu Bara terhadap Bahan
Amelioran Beupa Pupuk NPK dan Kapur Dolomit. Jurnal AGRIFOR Vol VIII No. 1.
Ardi,
2011. Prospek Usaha Agroforestry Karet Dan Jernang Di Kabupaten
Sarolangun-Jambi. Jurnal Agroforesty
Karet dan Jernang- Vol. 6 No.1:10-14.
Djoehana,
S. 1993. Karet. Kanisius: Yogyakarta.
Djukri,
2006. Karakter Tanaman Dan Produksi Umbi Talas Sebagai Tanaman Sela di Bawah
Tegakan Karet. Jurnal BIODIVERSITAS
Jurusan Biologi Pertanian.Vol.7:256-259.
Dwi,
S. 2010. Pengaruh Konsentrasi Cupri Sulfat Terhadap Keawetan Kayu Karet. Jurnal Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses.
Hamidah,
2007. Pengaruh Pengendalian Gulma Dan Pemberian Pupuk Npk Phonska Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell Arg.) Klon Pb 260. Jurnal Pengaruh Pengendalian Gulma tanaman
Karet.
Nurhayati,
2006. UJI Kerentanan Daun Karet terhadap Jamur Corynespora cassiicola. Jurnal Tanaman Tropika 9(2)102-109.
Tumpal,
S. 1995. Teknik Penyadapan Karet.
Kanisius: Yogyakarta.
Wibowo,
S. 2008. Panduan Lengkap Karet.
Penebar Swadaya: Bogor
Yulia,
M. 2008. Upaya Optimalisasi Lahan Peremajaan Karet Dengan Tanaman Sela (Intercropping). Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat No. 45.
BAB
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pengamatan
Kegiatan
|
Gambar kegiatan
|
Pembibitan
|
|
Penyadapan
|
|
Penerimaan lateks
|
|
Pembuatan sheet
|
Dalam
pembuatan sheet ini tidak dapat mengambil gambar, hal ini dikarenakan
termasuk dalam rahasia perusahan dari perkebunan renteng
|
Pembakaran
|
|
Pengepakan
|
Dalam
Proses pengepakan juga tidak dapat mengambil gambar dikarenakan termasuk
dalam rahasia perusahaan dan tidak boleh banyak orang yang tau dalam
pengepakan latek.
|
Pengolahan Limbah
|
|
4.2
Pembahasan
Berdasarkan
kunjungan lapang yang telah dilaksanakan di perkebunan renteng yang terdapat di
daerah Jenggawa kabupaten Jember kami dapat mengetahui cara budidaya tanaman
karet dari awal pembibitan sampai pengambilan lateks. Dalam budidaya karet
tahap yang pertama yaitu dari pembibitan karet, pembuatan kebun entress,
okulasi (penggunaan klon unggul), pemeliharaan kebun karet, penyadapan hingga
penanganan pasca panen/pengolahan lateks.
1)
Pembibitan Tanaman
Karet
Pembibitan karet
adalah salah hal penting yang perlu diperhatikan benar pelaksanaannya. Jenis
klon karet akan sangat mempengaruhi banyaknya getah yang akan dihasilkan
nantinya apabila tanaman sudah mulai besar. Tanaman karet sendiri dapat
diperbanyak dengan cara vegetatif maupun secara generatif.
Dalam pembibitan
karet secara generatif yaitu melalui biji, maka biji tersebut dapat diperoleh
dari kebun benih yang kemudian perlu adanya seleksi biji untuk mendapatkan biji
yang terbaik. Cara manual yang bisa dilakukan adalah melalui metode pelentingan
menggunakan alat penguji pelentingan biji karet. Langkah awal untuk mendapatkan
biji berkualitas baik adalah dengan memasukkan biji karet tersebut kedalam alat
penguji, dan apabila biji tersebut dapat memantul keatas yang menandakan bahwa
biji tersebut bagus.
Penanaman bibit
tanaman karet harus tepat waktu untuk menghindari tingginya angka kematian di
lapang. Waktu tanam yang sesuai adalah pada musim hujan. Selain itu perlu
disiapkan tenaga kerja untuk kegiatan-kegiatan dalam pembuatan lubang tanam,
pembongkaran, dan penanaman bibit.
Sebelum bibit ditanam, terlebih
dahulu dilakukan seleksi bibit untuk memperoleh bahan tanam yang memeliki
sifat-sifat umum yang baik antara lain : berproduksi tinggi, responsif terhadap
stimulasi hasil, resitensi terhadap serangan hama dan penyakit daun dan kulit,
serta pemulihan luka kulit yang baik. Beberapa syarat yang harus dipenuhi bibit
siap tanam adalah antara lain :
a. Bibit
karet di polybag yang sudah berpayung dua.
b. Mata
okulasi benar-benar baik dan telah mulai bertunas.
c. Akar tunggang
tumbuh baik dan mempunyai akar lateral.
d. Bebas dari
penyakit jamur akar (jamur akar putih).
Untuk kebutuhan bibit, dengan
jarak tanam 7 m x 3 m (untuk tanah landai), diperlukan bibit tanaman karet
untuk penanaman sebanyak 476 bibit, dan cadangan untuk cadangan sebanyak 10%
(47 bibit) sehingga untuk setiap hektar kebun diperlukan sebanyak 523 batang
bibit karet.
2)
Pembuatan
Kebun Entres dan Penggunaan Klon Unggul Pada Kebun Entres
Klon merupakan tanaman yang diperoleh darai hasil perbanyakan secara vegetatif.
Klon dihasilkan melalui penelitian dan pengujian selama bertahun tahun. Klon
memiliki kelebihan daripada tanaman yang dikembangkan melalui biji antara lain
tumbuhnya lebih serempak dan seragam dan jumlah lateks yang dihasillkan jauh
lebih banyak.
Penamaan klon tanaman karet berasal dari lembaga yang melakukan penelitian
klon tersebut misalnya klon BPM meruapakan hasil penelitian dan pengembangan
dari Balai Penelitian Medan, begitu pula klon yang lainnya seperti klon RRIM
(Rubber Research Institute of Malaysia), GT (GOndang Tapen), AVROS (Algemene
Vereneging van Rubberonderneming en in Oost Sumatera), PB(Prang Besar), PR
(Proefstation),LCB (Land Caoutchouc) danWR (Wangon Rejo). Tetua dalam persilangan buatan buatan banyak menggunakan klon seri
BPM dan GT dari Indonesia.
Sedangkan tetua lain, seperti beberapa klon seri RRIM, PB (berasal dari
Malaysia) dan RRIC (berasal dari Sri Lanka) masuk ke Indonesia melaalui program
pertukaran klon internasional yang dilakukan pada tahun 1974.
Sejak pertama
kali dilakukan, pemuliaan karet di Indonesia saat ini telah memasuki
periode atau siklus generasi ke-4 (keempat). Pembagian tahapan tersebut menurut
Suhendry, I. (2002) adalah:
a. Generasi I (<1930) : seedling terpilih
b. Generasi II (1930 – 1960) : AVROS 2037, PIL-B 84, PB 86, Tjir 1,
GT 1, LCB 1320, LCB 479, PR 107, WR 101.
c.
Generasi III (1983-1992) : PR 255, PR 261, PR 228, PR 300, PR 303, RRIM
600, BPM 1 dan seri TM.
d.
Generasi IV (1993-sekarang) : BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, PB 217,
PB 330, RRIC 100, RRIM 712 dan klon klon seri IRR.
Pada siklus ke-4 (keempat), klon klon
yang dihasilkkan merupakan hasil penggabungan antara klon klon hasil seleksi
Generasi II dengan Generasi III atau sebaliknya. Klon IRR seri 100 merupakan
salah satu klon yang dihasilkan pada Generasi IV yang produktivitasnya dapat
mencapai 2500 kg/ha/tahun. Salah satu klon IRR seri 100 yang mempunyai potensi
untuk dapat dikembangkan yaitu :
IRR 118.
Klon klon anjuran konvensional terdiri dari 3 (tiga) kategori, antara lain klon
penghasil lateks, klon penghasil kayu dan klon penghasil lateks dan kayu (Tabel
2).
Tabel 2. Beberapa Klon anjuran Komersial
Klon Penghasil Lateks
|
Klon penghasil Kayu
|
Klon pengahsil lateks dan kayu
|
BPM 24, BPM 107, BPM 109, IRR 104, PB 217 dan PB 260
|
BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39,
IRR 42, IRR 112 dan IRR 118.
|
IRR 70, IRR 71,
IRR 72 dan IRR 78
|
Tanaman yang berumur lebih dari sepuluh tahun dan dipelihara sesuai standar
adalah tanaman yang dapat diambil bijinya, karena mutu bijinya lebih baik. Pada
umumnya biji yang dapat dimanfaatkan berasal dari perkebunan besar atau proyek
peremajaan karet rakyat dengan hamparan yanf cukup luas (Anonim, 2007).
c. Penyadapan
Pemungutan hasil tanaman karet disebut
penyadapan karet. Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari
pengusahaan tanaman karet. Tujuan dari penyadapan karet ini
adalah membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks cepat mengalir.
Kecepatan aliran lateks akan berkurang apabila takaran cairan lateks pada kulit
berkurang Kulit karet dengan ketinggian 260 cm dari permukaan tanah merupakan
bidang sadap petani karet untuk memperoleh pendapatan selama kurun waktu
sekitrar 30 tahun. Oleh sebab itu penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak merisak kulit tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam penyadapan,
maka produksi karet akan berkurang (Santosa, 1986).
Menurut Pendle, lateks mengandung beragam
jenis protein katena lateks adalah cairan sitiplasma, protein ini termasuk
enzim-enzim yang berperan dalam sintesis molekul karet (Hience,
L, 2008). Sebagian protein hilang sewaktu pemekatan lateks yaitu karena pengendapan
dan karena terbuang dalam lateks skim. Protein yang tersisa dalam lateks pekat
kurang lebih adalah 1% terhadap berat lateks dan terdistribusi pada permukaan
karet (60%) dan sisanya sebesar 40% terlarut dalam serum lateks pekat tersebut
(Pendle, 1992).
Musuh yang paling mengganggu para penyadap
karet (Hevea brasiliensis) adalah hujan di pagi hari. Sebab jika kulit batang
karet (balam) basah, getah akan luber keluar dari jalur (pelat) yang dibentuk
oleh tarikan pahat. Jika hujan pagi, berarti hari libur para
penyadap karet (penakok). Sedang musuh yang paling ditakutkan adalah hujan
turun saat ngangkit (mengumpulkan getah dari sayak atau mangkuk penampung) (Darmandono,
1995). Hasil memutari pohon-pohon karet satu kebun bisa jadi tanpa hasil jika
air hujan meluberi sayak (tempurung penampung) cairan getah karet. Namun musuh
yang paling dibenci para penyadap karet adalah harga getah/lateks “jatuh”
sedang harga kebutuhan sehari-hari meninggi (Radjam, 2009).
Penggunaan stimulan karet memang sangat
menguntungkan bagi para petani atau perkebunan karet, hal ini dikarenakan
tanaman karet yang telah diberi stimulan tersebut dapat menghasilkan getah /
latek yang banyak karena stimulan tersebut merangsang enzim dan mempercepat
metabolisme penghasil latek yang terdapat pada tanaman karet. Dalam penggunaan
stimulan pada tanaman karet tergantung dari jenis tanaman karetnya. Ada tanaman
karet yang memproduksi latek dalam jumlah banyak apabila diberi stimulan dan
ada juga getah karet yang resisten terhadap pemberian stimulan. Namun dari
kegiatan Fieldtrip yang telah dilaksanakan kemarin rata-rata tanaman karet peka
terhadap pemberian stimulan, hal ini dapat diketahui pada saat dilapang yang
mana pada setiap tanaman karet semua terdapat alat untuk memasukkan stimulan
tersebut.
Penyadapan
merupakan suatu tindakan membuka pembuluh lateks agar lateks yang terdapat di
dalam tanaman karet keluar. Penyadapan dapat dilakukan sekitar umur 4,5-6 tahun
tergantung pada klon dan lingkungan. Tahapan penyadapan sesuai aturan,
diantaranya :
a.
Menentukan matang sadap
· Matang sadap pohon. Tanaman karet siap sadap bila
sudah matang sadap pohon. Matang sadap pohon tercapai apabila sudah mampu
diambil lateksnya tanpa menyebabkan ganguan terhadap pertumbuhan dan kesehatan
tanaman. Kesanggupan tanaman untuk disadap dapat ditentukan lilit batang. Untuk
umur tidak dapat dijadikan pedoman menentukan matang sadap. Pengukuran lilit
batang terhadap pohon yang sudah masuk matang sapad dapat dilakukan dengan :
-
Lilit batang 45 cm atau lebih.
-
Ketinggian 100 cm dpo (di atas pertautan okulasi).
· Matang sadap
kebun. Apabila pada kebun, jumlah tanaman matang sadap sudah mencapai >60%.
Misalkan, jarak tanam 6 x 3 m (555 pohon/ha), maka pohon matang sadapnya sudah mencapai
333 pohon/ha.
b.
Teknis Pelaksanaan Buka Sadap
· Dilakukan pada pohon dan kebun yang sudah
matang sadap
· Ditetapkan berdasarkan:
a. Tinggi bukaan sadap
b. Arah dan sudut kemiringan irisan sadap
c. Panjang irisan sadap
d. Letak bidang sadap
· Penggambaran bidang sadap:
a. Tanaman okulasi 130 cm dpo
b. Tanaman seedling 100 cm
c. Arah: dari kiri atas ke kanan bawah, alasannya: Pembuluh lateks posisinya dari kanan atas ke kiri bawah membentuk sudut 3.7° dengan bidang datar.
· Sudut kemiringan sadap.
a. Bidang sadap bawah: 30°-40° terhadap
bidang datar.
b. Bidang sadap atas : 45°.
c.
Pemasangan Talang dan Mangkuk Sadap
Pemasangan
talang dan mangkuk sadap dilakukan setelah penggambaran bidang sadap.
Pemasangannya diletakkan di bawah ujung irisan sadap bagian bawah. Talang sadap
terbuat dari seng selebar 2,5 cm dengan panjang ±8 cm. Talang sadap dipasang
pada jarak 5 - 10 cm dari ujung irisan sadap bagian bawah, tepat di atas garis
sandar depan yang juga berfungsi sebagai parit untuk aliran lateks. Pemasangan
talang sadap di bagian ini bertujuan supaya tidak mengganggu pelaksanaan
penyadapan, lateks dapat mengalir dengan baik, dan tidak terlalu banyak
meninggalkan getah bekuan pada batang.
Mangkuk sadap
umumnya terbuat dari tanah liat, plastik atau aluminium. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
pemilihan mangkuk adalah harus mudah dipakai, mudah dibersihkan, dapat
dipergunakan dalam jangka waktu lama, ekonomis dan mudah didapat.
Mangkuk sadap
dipasang pada jarak 15 cm - 20 cm di bawah talang sadap. Pemasangan mangkuk sadap di posisi ini
bertujuan supaya lateks dapat mengalir sampai ke mangkuk dengan baik, dan
penyadap tidak mengalami kesulitan mengambilnya sewaktu pengumpulan lateks.
d.
Kedalaman Irisan Sadap dan ketebalan irisan sadap
Kedalaman irisan
sadap dianjurkan 1-1,5 mm dari kambium. Hal ini dikarenakan di dalam kulit
batang terdapat pembuluh lateks, semakin ke dalam semakin banyak, jangan sampai
terjadi kerusakan kambium agar kulit pulihan dapat terbentuk dengan baik dan
lamanya penyadapat berkisar 25-30 tahun.
Ketebalan sadap dianjurkan sebesar 1,5-2,0 mm setiap penyadapan.
Menurut Sapta Bina Usaha Tani Karet, 2003 menyatakan
bahwa :
a. Frekuensi Penyadapan
- Frekuensi penyadapan: jumlah penyadapan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
- Penentuan frekuensi penyadapan berkaitan dengan panjang irisan dan intensitas penyadapan.
- Panjang irisan: ½ S (spiral)
- Frekuensi penyadapan:
·
Tahun pertama: d/3 (3 hari sekali).
·
tahun selanjutnya: d/2 (2 hari sekali) panjang irisan dan frekuensi penyadapan
bebas.
b. Waktu Penyadapan
Sebaiknya
penyadapan dilakukan Jam 5.00-7.30 pagi hari, dengan dasar pemikirannya:
a. Jumlah lateks yang keluar dan kecepatan aliran lateks
dipengaruhi oleh tekanan turgor sel.
b. Tekanan turgor mencapai maksimum pada saat menjelang
fajar, kemudian menurun bila hari semakin siang.
c. Pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan dengan baik
bila hari sudah cukup terang.
Pengolahan karet
ini mepertimbangkan bahan baku. Bahan baku dalam pengolahan karet adalah lateks
yang belum mengalami pra koagulasi. Lateks merupakan cairan yang berbentuk
koloid berwarna putih kekuning-kuningan yang dihasilkan oleh pohon karet.
Menurut Oktaviana, 2009 menyatakan bahwa ciri-ciri lateks yang digunakan untuk
menghasilkan lembaran slab yang baik, yaitu :
a. Berbau segar atau langu wengur.
b. Mempunyai KKK (Kader Karet Kering) yang tinggi yaitu
20% - 25%.
c. Tidak mengandung kotoran, yaitu kotoran dari benda
lain yang tercampur dalam lateks, msalnya tatal kayu, daun, tanah, dan
lain-lain.
d. Tidak terdapat bintik-bintik gumpalan karet atau
terjadi proses pra koagulasi. Mempunyai pH antara 6,5 – 7,0.
Pada proses penyadapan lateks dilakukan
dengan pelukaan kulit batang karet. Di dalam kulit batang terdapat pembuluh
lateks, semakin ke dalam semakin banyak. Namun, dalam aplikasinya jangan sampai
terjadi kerusakan kambium agar kulit pulihan dapat terbentuk dengan baik.
Sehingga lamanya penyadapan dalpat berlangsung selama 25–30 tahun.
Penyadapan karet bila melukai
pohon/kambium akan mengakibatkan kerusakan pada kulit. Kerusakan ini disebabkan
kerukan cambium akan menyebabkan proses transportasi dari akar yang berupa air
dan hara maupun dari daun yang berupa hasil fotosintesis kebagian tanaman
lainnya tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian pada tanaman yang luka
akan sulit mendapatkan bahan-bahan atau enzim yang dapat menutup luka yang
telah terjadi.
BAB 3.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Pada praktikum Teknologi Produksi
Tanaman Pangan dan Perkebunan acara 4 yaitu Teknik Pembibitan, Penyadapan dan Pengolahan
Hasil Tanaman Karet, dilakukan pada tanggal 28 April 2012, pukul 06.00 WIB.
Pelaksanaan praktikum ini di areal lahan budidaya Karet, Perkebunan Renteng,
Kecamatan Jenggawa, Kabupaten Jember.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam
praktikum ini sebagai berikut :
1.
Alat tulis.
2.
Kamera.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum
ini adalah sebagai berikut :
1.
Beberapa jenis tanaman
karet.
3.3 Cara kerja
1.
Mengunjungi areal
penanaman Karet.
2.
Memilih beberapa contoh
tanaman dan mengamati secara teliti ciri-ciri yang ada dari tiap jenis tanaman
karet tersebut.
3.
Mendiskusikan beberapa
karakteristik tanaman kelapa karet dengan para teknisi lapangan.
4.
Membuat laporan sesuai
dengan topik yang telah ditentukan.
BAB
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum lapang yang telah
dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.
Teknik yang
umumnya dilakukan untuk budidaya tanaman karet adalah pembibitan, pemeliharaan,
penyadapan, dan pemanenan/pengolahan hasil karet(Lateks).
2.
Penggunaan stimulan
karet memang sangat menguntungkan bagi para petani atau perkebunan karet, hal
ini dikarenakan tanaman karet yang telah diberi stimulan tersebut dapat
menghasilkan getah / latek yang banyak karena stimulan tersebut merangsang
enzim dan mempercepat metabolisme penghasil latek yang terdapat pada tanaman
karet.
3.
Penyadapan karet bila
melukai pohon/kambium akan mengakibatkan kerusakan pada kulit. Kerusakan ini
disebabkan kerukan cambium akan menyebabkan proses transportasi dari akar yang
berupa air dan hara maupun dari daun yang berupa hasil fotosintesis kebagian
tanaman lainnya tidak dapat berjalan dengan baik.
4.
Lateks mengandung beragam jenis protein katena
lateks adalah cairan sitiplasma, protein ini termasuk enzim-enzim yang berperan
dalam sintesis molekul karet
5.2
Saran
Dalam
kegiatan lapang sebaiknya praktikan diberi akses dari areal pengolahan karet ke
kebun penanaman tanaman karet agar lebih efisien waktu dan tenaga. Selain itu sebaiknya asisten harus datang
tepat waktu atau datang lebih awal ke areal perkebunan hal ini dikarenakan
untuk lebih efisiensi terhadap waktu.
No comments:
Post a Comment