Saturday, April 27, 2013

BIOLOGI MOLEKULER DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL


BAB I. PENDAHULUAN


Revolusi hijau (green revolution) yang dikumandangkan tahun 1960 yang ditandai dengan perbaikan bercocok tanam seperti penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk yang sesuai, pemberantasan hama dan penyakit yang lebih intensif serta berbagai tindakan lainnya, memungkinkan peningkatan produksi pangan yang berasal dari tanaman pangan diseluruh dunia meningkat. Indonesiapun tidak ketinggalan menyongsongnya. Sehingga tahun 1984 oleh Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia diakui telah berswasembada beras berkat jasa revolusi hijau. Dengan demikian pada saat itu kekhawatiran akan terjadi krisis pangan khususnya di Indonesia sebagai akibat tidak seimbangnya antara bahan makanan pokok dengan jumlah penduduk dapat diatasi. 
Akibat dari pembangunan yang sangat pesat di berbagai bidang dalam beberapa tahun kemudian, lambat laun faktor-faktor produksi pertanian seperti lahan produktif semakin banyak terkonversi menjadi lahan non pertanian. Di sisi lain ternyata kecenderungan pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pada tahun 2030 diperkirakan bahwa penduduk dunia mencapai 8 milyar atau meningkat sebesar 2 milyar dari populasi sekarang. Oleh karena itu peningkatan produksi pertanian perlu terus diupayakan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.
Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan dengan cara pemuliaan tanaman dengan rekayasa genetika sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal baik dalam kualitas dan kuantitafnya. Rekayasa genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan hama penyakit.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Ruang Lingkup Pemuliaan Konvensional (Selektif) dan Rekayasa Genetika
Banyak pakar memandang rekayasa genetika secara sederhana sebagai kelanjutan dari teknik pemuliaan konvensional karena kedua teknik itu pada dasarnya bertujuan untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menghasilkan organisme yang memiliki sifat-sifat baru yang berguna. Meskipun pada dasamya rekayasa genetika dan pemuliaan konvensional memiliki kesamaan. Namun kcdua teknik itu juga memiliki perbedaanperbedaan penting .
2.1.1 Parameter Pemuliaan konvensional Rekayasa genetika
a.      Tingkat Organisme utuh Sel atau molekul
b.      Ketepatan Sekumpulan gen Satu gen tunggal
c.       Kepastian Perubahan genetika sulit atau Perubahan bahan
d.      Tidak ada batasan suatu spesies atau satu genus taksonomi
Dalam rekayasa genetika, kita memindahkan satu gen tunggal yang fungsinya sudah diketahui dengan jelas, sedangkan pada umumnya yang dipindahkan berupa kumpulan gen, meskipun dalam metode pemuliaan tanaman ada metode silang balik (back cross) yang tujuannya mentransfer satu gen sehingga diperoleh galur isogenik. Dengan meningkatkan ketepatan dan kepastian dalam manipuiasi genetika, maka resiko untuk menghasilkan organisme dengan sifat-sifat yang tidak diharapkan dapat diminimumkan. Model uji coba (trial-and-error) dalam pemuliaan selektif dapat dibuat menjadi lebih tepat melalui rekayasa genetika.
 Konvensional mengawinkan organisme dari satu spesies, dari spesies yang berbeda, atau kadang-kadang dari genus yang berbeda. Dalam rekayasa genetika sudah tidak ada lagi hambatan taksonomi. Manipulasi genetika tidak lagi terbatas pada sekelompok kecil variasi genetika. Bila kita inginkan suatu bahan genetika untuk disisipkan pada suatu organisme, maka tidak lagi menjadi masalah
seberapajauh hubungan kekerabatan organisme pemilik bahan genetika tersebut.
Kemampuan memindahkan gen dari satu organisme ke organisme lain tanpa batasan taksonomi memungkinkan kita memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa, yaitu keragaman hayati (biodiversity). Tentu saja semua usaha itu dapat dilakukan dengan dampak yang minimal bila kita mau belajar dari kearifan proses-proses biologi yang mendasari keragaman tersebut.

2.2.2 Pemuliaan Tanaman dan Biologi Mokuler
Pemuliaan tanaman konvensional menggunakan hasil observasi fenotipe,
kadang-kadang didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu
unggul dalam populasi pemuliaan. Namum demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan genetik dari sebagian besar sifat-sifat agronomi dan adanya interaksi yang kuat dengan faktor lingkungan. Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa mendatang akan lebih mengarah kepada penggunaan teknik dan metodologi pemuliaan molekuler dengan menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan “pemuliaan molekuler” ini telah menjanjikan keserdehanan terhadap kendala dan tantangan tersebut . Seleksi tidak langsung dengan menggunakan penanda molekuler yang terikat dengan sifat – sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap pertumbuhan dini, mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat ekspresi sifat yang disebabkan oleh factor eksternal lokus genetik ganda.
Dengan kemajuan iptek di bidang biologi molekuler telah memberikan peluang untuk mengatasi keterbatasan itu, dimana beberapa aspek mikro dalam pemuliaan dapat diketahui dan dilakukan, antara lain :
(1) identifikasi dan penentuan letak gen
(2) pemindahan gen tak terbatas
(3) peningkatan pemahaman proses genetik dan fisiologi tanaman
(4) perbaikan diagnosis penyakit dengan metode molekuler
(5)pengaturan produksi protein pada tanaman serealia dan kacang-kacangan untuk meningkatkan gizi
(6) memudahkan dalam menghasilkan dan menyeleksi tanaman tahan hama, penyakit dan cekaman lingkungan
(7) memungkinkan dilakukannya transformasi, kontruksi, dan ekspresi genetik melalui teknologi DNA.

2.2 Pendekatan Biologi Molekuler untuk mengatasi Krisis Pangan
Usaha yang dilakukan untuk menanggulangi krisis pangan di Indonesia dengan pendekatan biologi molekuler, antara lain dengan merakit tanaman yang resisten terhadap serangan hama dan penyakit, serta toleran terhadap cekaman lingkungan (salin, kekeringan dan keracunan Al).
Rekayasa genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan hama penyakit sebagai berikut :
a.      Tanaman Transgenik Toleran salin
Dengan teknologi kultur jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi yang biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui
fusi protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada
tanaman yang akan dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley transgenik yang toleran dengan salin.
b.      Tanaman Transgenik Tahan Kekeringan
Tanaman tahan kekeringan memiliki akar yang sanggup menembus tanah
kering, kutikula yang tebal mengurangi kehilangan air, dan kesanggupan menyesuaikan diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran terhadap kekeringan ditransfer dari gen kapang yang mengeluarkan enzim trehalose. Tembakau salah satu tanaman transgenik yang dapat toleran dengan suasana kekeringan.

c.       Tanaman Transgenik Resisten Hama
Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora. Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin.
Kloning Bt toksin dibedakan menjadi empat golongan besar gen: gen cryl spesifik untuk moths dan kupu-kupu; gen cryll khusus untuk lepidoptera (kupu-kupu), diptera (lalat), dan kumbang (coleoptera); gen cryIII untuk coleoptera; serta gen cryIV untuk diptera. Bt toksin gen merupakan gen tunggal. Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenic pertama yang menggunakan gen Bt toksin, disusul famili tembakau, yaitu tomat dan kentang.
Dengan sinar ultraviolet gen penghasil insektisida pada tanaman dapat
diinaktifkan. Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicillin. Pada jagung juga direkayasa adanya resistensi herhisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Bt toksin gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple-gene dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik. Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet
Sejumlah tanaman transgenik toksin Bt telah berhasil diproduksi, antara lain kentang (Bt toksin terhadap Colorado bettle, produksi Mycogen, San Diego, California, Amerika Serikat), jagung (Bt toksin terhadap pengerek batang European, produksi Ciba Seed, Greensboro, California Utara, Amerika Serikat.
d.      Tanaman Transgenik Resisten Penyakit
Virus JGMV adalah virus yang asam nukleatnya berupa utas tunggal RNA
dengan panjang 9.7 kilo basa (kb), virus ini menyerang beberapa tanaman yang tergolong dalam famili Graminae, seperti jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian secara ekonomi cukup besar. Gejala yang ditimbulkan dapat diamati pada daun berupa mosaik, nekrosa, atau kombinasi keduanya. Akibat serangan virus ini, kerugian para petani dapat sangat tinggi atau bahkan tidak panen sama sekali.
Pada tahun 1960-an Department of Primary Industry di Quennsland telah
mengembangbiakkan suatu jenis sorgum baru yang berasal dari India yang resisten terhadap virus JGMV tipe liar (JGMV-Jg). Sorgum tersebut diberi nama sorgum Krish dan dipercayai mempunyai gen resisten N yang tahan terhadap serangan JGMV-Jg. Percobaan ini menghasilkan beberapa galur sorgum Krish (misal QL12) yang resisten terhadap JGMV-Jg dan telah disebarkan kepada petani dan memberikan keuntungan.
Pendekatan biologi molekul, masa depan untuk membuat tanaman sorgum atau jagung transgenic dengan menyisipkan CP JGMV Krish-infecting strain ke genom tanaman terbuka dan diharapkan dapat membantu mengutasi masalah penyakit virus.
Pada tahun 1986 kelompok peneliti Roger Beachy menunjukkan bahwa
tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan protein mantel tobacco mosaic virus (TMV) terlindungi dari infeksi TMV. Begitu pula pada biji-biji labu kuning transgenik dengan protein mantel virus memberikan proteksi terhadap water melon mosaic virus 2 (dua) dan Zucchini yellow mosaic virus telah banyak dijual di Amerika Serikat. Teknik ini merupakan piranti handal dalam perbaikan tanaman, khususnya tanaman seperti kentang, yang diperbanyak secara vegetatif, dimana penyakit virus dapat ditransmisikan dari tahun ke tahun melalui material pertanaman. Beberapa tanaman transgenik yang meliputi tanaman pangan dan industry telah dikembangkan dan sedang diteliti di Indonesia


BAB III. KESIMPULAN

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dengan memanfaatkan tanaman transgenik secara selektif kita dapat memanfaatkan semua lahan marginal menjadi produktif, sehingga kurangnya
sumber daya lahan tidak menjadi kendala.
2.    Dengan asumsi potensi lahan yang masih sangat luas tentu dapat menjamin
kontinuitas produksi dari tanaman pangan untuk jangka panjang.
3.    Bahwa pendekatan biologi molekul cukup menjanjikan penyelesaian yang
tuntas dan tepat sasaran dalam menghadapi masalah pangan di Indonesia. Oleh karena itu kiranya tidak berlebihan apabila usaha awal untuk merakit tanaman transgenik di negara kita ini perlu dilakukan supaya risiko yang bakal berdampak negatif pada manusia ataupun lingkungan dapat dikurangi. Kearifan dan tanggung jawab moral yang sangat tinggi merupakan salah satu modal utama dalam menekuni bidang rekayasa genetika ini.
4.    Perlu ditingkatkan kemampuan sumber daya manusia di Indonesia dalam hal
       rekayasa genetika, agar ketergantungan akan bibit tanaman transgenik tidak terjadi.

DAFTAR PUSTAKA


Barton, K.A. and Miller M.J., 1993. Production Bacillus thuringiensis Insecticidal Protein in Plant in SD Kung and R Wud (eds) Transgenic Plants Vol.1,Engineering and Utilization, Acaddemic Press New York.
Moeljopawiro S. dan Bustaman M., 1993. Pemuliaan dan Biologi Molekuler. Prosiding Simposium Kinerja Penelitian Tanaman Pangan III. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Nasir M., 2002. Bioteknologi Molekuler Teknik Rekayasa Generika Tanaman. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sitepoe M., 2001. Rekayasa Genetika. Penerbit. Grasindo. Jakarta.
Sunarto, 2001. Peningkatan Produksi Pertanian melalui Penggunaan Varietas yang Toleran Cekaman Lingkungan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Puwokerto.

No comments:

Post a Comment