BAB I. PENDAHULUAN
Revolusi hijau (green revolution)
yang dikumandangkan tahun 1960 yang ditandai
dengan perbaikan bercocok tanam seperti penggunaan bibit unggul, penggunaan
pupuk yang sesuai, pemberantasan hama dan penyakit yang lebih intensif serta
berbagai tindakan lainnya, memungkinkan peningkatan produksi pangan yang
berasal dari tanaman pangan diseluruh dunia meningkat. Indonesiapun tidak
ketinggalan menyongsongnya. Sehingga tahun 1984 oleh Food and Agriculture Organization
(FAO) Indonesia diakui telah berswasembada beras berkat jasa revolusi hijau.
Dengan demikian pada saat itu kekhawatiran akan terjadi krisis pangan khususnya
di Indonesia sebagai akibat tidak seimbangnya antara bahan makanan pokok dengan
jumlah penduduk dapat diatasi.
Akibat dari pembangunan yang sangat
pesat di berbagai bidang dalam beberapa tahun kemudian, lambat laun faktor-faktor
produksi pertanian seperti lahan produktif semakin banyak terkonversi menjadi
lahan non pertanian. Di sisi lain ternyata kecenderungan pertambahan penduduk
yang terus meningkat. Pada tahun 2030 diperkirakan bahwa penduduk dunia
mencapai 8 milyar atau meningkat sebesar 2 milyar dari populasi sekarang. Oleh
karena itu peningkatan produksi pertanian perlu terus diupayakan seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk.
Peningkatan produksi pertanian dapat
dilakukan dengan cara pemuliaan tanaman dengan rekayasa genetika sehingga dapat
diperoleh hasil yang maksimal baik dalam kualitas dan kuantitafnya. Rekayasa
genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam
tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman
transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap
salinitas, kekeringan dan hama penyakit.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Ruang Lingkup Pemuliaan Konvensional (Selektif)
dan Rekayasa Genetika
Banyak pakar memandang rekayasa genetika
secara sederhana sebagai kelanjutan dari teknik pemuliaan konvensional karena
kedua teknik itu pada dasarnya bertujuan untuk menggabungkan materi genetika
dari sumber yang berbeda untuk menghasilkan organisme yang memiliki sifat-sifat
baru yang berguna. Meskipun pada dasamya rekayasa genetika dan pemuliaan konvensional
memiliki kesamaan. Namun kcdua teknik itu juga memiliki perbedaanperbedaan penting
.
2.1.1
Parameter Pemuliaan konvensional Rekayasa genetika
a. Tingkat
Organisme utuh Sel atau molekul
b. Ketepatan
Sekumpulan gen Satu gen tunggal
c. Kepastian
Perubahan genetika sulit atau Perubahan bahan
d. Tidak
ada batasan suatu spesies atau satu genus taksonomi
Dalam rekayasa genetika, kita
memindahkan satu gen tunggal yang fungsinya sudah diketahui dengan jelas,
sedangkan pada umumnya yang dipindahkan berupa kumpulan gen, meskipun dalam
metode pemuliaan tanaman ada metode silang balik (back cross) yang tujuannya
mentransfer satu gen sehingga diperoleh galur isogenik. Dengan meningkatkan
ketepatan dan kepastian dalam manipuiasi genetika, maka resiko untuk
menghasilkan organisme dengan sifat-sifat yang tidak diharapkan dapat
diminimumkan. Model uji coba (trial-and-error) dalam pemuliaan selektif dapat
dibuat menjadi lebih tepat melalui rekayasa genetika.
Konvensional
mengawinkan organisme dari satu spesies, dari spesies yang berbeda, atau
kadang-kadang dari genus yang berbeda. Dalam rekayasa genetika sudah tidak ada
lagi hambatan taksonomi. Manipulasi genetika tidak lagi terbatas pada
sekelompok kecil variasi genetika. Bila kita inginkan suatu bahan genetika
untuk disisipkan pada suatu organisme, maka tidak lagi menjadi masalah
seberapajauh
hubungan kekerabatan organisme pemilik bahan genetika tersebut.
Kemampuan memindahkan gen dari satu
organisme ke organisme lain tanpa batasan taksonomi memungkinkan kita
memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa, yaitu keragaman hayati
(biodiversity). Tentu saja semua usaha itu dapat dilakukan dengan dampak yang
minimal bila kita mau belajar dari kearifan proses-proses biologi yang
mendasari keragaman tersebut.
2.2.2
Pemuliaan Tanaman dan Biologi Mokuler
Pemuliaan tanaman konvensional
menggunakan hasil observasi fenotipe,
kadang-kadang
didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu
unggul
dalam populasi pemuliaan. Namum demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan
genetik dari sebagian besar sifat-sifat agronomi dan adanya interaksi yang kuat
dengan faktor lingkungan. Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa mendatang
akan lebih mengarah kepada penggunaan teknik dan metodologi pemuliaan molekuler
dengan menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan “pemuliaan molekuler” ini
telah menjanjikan keserdehanan terhadap kendala dan tantangan tersebut .
Seleksi tidak langsung dengan menggunakan penanda molekuler yang terikat dengan
sifat – sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap
pertumbuhan dini, mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi
sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat ekspresi sifat yang
disebabkan oleh factor eksternal lokus genetik ganda.
Dengan kemajuan iptek di bidang biologi
molekuler telah memberikan peluang untuk mengatasi keterbatasan itu, dimana
beberapa aspek mikro dalam pemuliaan dapat diketahui dan dilakukan, antara lain
:
(1) identifikasi dan penentuan letak gen
(2) pemindahan gen tak terbatas
(3) peningkatan pemahaman proses genetik
dan fisiologi tanaman
(4) perbaikan diagnosis penyakit dengan
metode molekuler
(5)pengaturan
produksi protein pada tanaman serealia dan kacang-kacangan untuk meningkatkan
gizi
(6)
memudahkan dalam menghasilkan dan menyeleksi tanaman tahan hama, penyakit dan
cekaman lingkungan
(7)
memungkinkan dilakukannya transformasi, kontruksi, dan ekspresi genetik melalui
teknologi DNA.
2.2
Pendekatan Biologi Molekuler untuk mengatasi Krisis Pangan
Usaha yang dilakukan untuk menanggulangi
krisis pangan di Indonesia dengan pendekatan biologi molekuler, antara lain
dengan merakit tanaman yang resisten terhadap serangan hama dan penyakit, serta
toleran terhadap cekaman lingkungan (salin, kekeringan dan keracunan Al).
Rekayasa genetika dalam bidang tanaman
dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa
genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh
beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan
hama penyakit sebagai berikut :
a. Tanaman
Transgenik Toleran salin
Dengan teknologi kultur jaringan telah
dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika
mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi yang biasa
digunakan sebagai bahan pangan melalui
fusi
protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada
tanaman
yang akan dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley
transgenik yang toleran dengan salin.
b. Tanaman
Transgenik Tahan Kekeringan
Tanaman tahan kekeringan memiliki akar
yang sanggup menembus tanah
kering,
kutikula yang tebal mengurangi kehilangan air, dan kesanggupan menyesuaikan
diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran terhadap kekeringan ditransfer
dari gen kapang yang mengeluarkan enzim trehalose. Tembakau salah satu tanaman
transgenik yang dapat toleran dengan suasana kekeringan.
c. Tanaman
Transgenik Resisten Hama
Bacillus thuringiensis menghasilkan
protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora.
Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora. Apabila larva insek
memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah
dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva,
mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap
sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian
diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida)
dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun
untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun
1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt
toksin.
Kloning Bt toksin dibedakan menjadi
empat golongan besar gen: gen cryl spesifik untuk moths dan kupu-kupu; gen
cryll khusus untuk lepidoptera (kupu-kupu), diptera (lalat), dan kumbang
(coleoptera); gen cryIII untuk coleoptera; serta gen cryIV untuk diptera. Bt
toksin gen merupakan gen tunggal. Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan
tanaman transgenic pertama yang menggunakan gen Bt toksin, disusul famili
tembakau, yaitu tomat dan kentang.
Dengan sinar ultraviolet gen penghasil
insektisida pada tanaman dapat
diinaktifkan.
Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin, tetapi
diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang
menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicillin. Pada jagung juga direkayasa
adanya resistensi herhisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman
transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Bt toksin
gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple-gene dapat direkayasa genetika
pada tanaman transgenik. Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik
menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet
Sejumlah tanaman transgenik toksin Bt
telah berhasil diproduksi, antara lain kentang (Bt toksin terhadap Colorado
bettle, produksi Mycogen, San Diego, California, Amerika Serikat), jagung (Bt
toksin terhadap pengerek batang European, produksi Ciba Seed, Greensboro,
California Utara, Amerika Serikat.
d. Tanaman
Transgenik Resisten Penyakit
Virus JGMV adalah virus yang asam
nukleatnya berupa utas tunggal RNA
dengan
panjang 9.7 kilo basa (kb), virus ini menyerang beberapa tanaman yang tergolong
dalam famili Graminae, seperti jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian
secara ekonomi cukup besar. Gejala yang ditimbulkan dapat diamati pada daun
berupa mosaik, nekrosa, atau kombinasi keduanya. Akibat serangan virus ini, kerugian
para petani dapat sangat tinggi atau bahkan tidak panen sama sekali.
Pada tahun 1960-an Department of
Primary Industry di Quennsland telah
mengembangbiakkan
suatu jenis sorgum baru yang berasal dari India yang resisten terhadap virus
JGMV tipe liar (JGMV-Jg). Sorgum tersebut diberi nama sorgum Krish dan
dipercayai mempunyai gen resisten N yang tahan terhadap serangan JGMV-Jg.
Percobaan ini menghasilkan beberapa galur sorgum Krish (misal QL12) yang
resisten terhadap JGMV-Jg dan telah disebarkan kepada petani dan memberikan
keuntungan.
Pendekatan
biologi molekul, masa depan untuk membuat tanaman sorgum atau jagung transgenic
dengan menyisipkan CP JGMV Krish-infecting strain ke genom tanaman terbuka dan
diharapkan dapat membantu mengutasi masalah penyakit virus.
Pada tahun 1986 kelompok peneliti Roger
Beachy menunjukkan bahwa
tanaman
tembakau transgenik yang mengekspresikan protein mantel tobacco mosaic virus
(TMV) terlindungi dari infeksi TMV. Begitu pula pada biji-biji labu kuning
transgenik dengan protein mantel virus memberikan proteksi terhadap water
melon mosaic virus 2 (dua) dan Zucchini yellow mosaic virus telah
banyak dijual di Amerika Serikat. Teknik ini merupakan piranti handal
dalam perbaikan tanaman, khususnya tanaman seperti kentang, yang
diperbanyak secara vegetatif, dimana penyakit virus dapat ditransmisikan
dari tahun ke tahun melalui material pertanaman. Beberapa tanaman transgenik
yang meliputi tanaman pangan dan industry telah dikembangkan dan sedang
diteliti di Indonesia
BAB III. KESIMPULAN
Dari
ulasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Dengan memanfaatkan tanaman transgenik secara selektif kita dapat memanfaatkan
semua lahan marginal menjadi produktif, sehingga kurangnya
sumber
daya lahan tidak menjadi kendala.
2. Dengan asumsi potensi lahan yang masih sangat
luas tentu dapat menjamin
kontinuitas
produksi dari tanaman pangan untuk jangka panjang.
3. Bahwa
pendekatan biologi molekul cukup menjanjikan penyelesaian yang
tuntas
dan tepat sasaran dalam menghadapi masalah pangan di Indonesia. Oleh karena itu
kiranya tidak berlebihan apabila usaha awal untuk merakit tanaman transgenik di
negara kita ini perlu dilakukan supaya risiko yang bakal berdampak negatif pada
manusia ataupun lingkungan dapat dikurangi. Kearifan dan tanggung jawab moral
yang sangat tinggi merupakan salah satu modal utama dalam menekuni bidang
rekayasa genetika ini.
4.
Perlu ditingkatkan kemampuan sumber
daya manusia di Indonesia dalam hal
rekayasa genetika, agar ketergantungan
akan bibit tanaman transgenik tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Barton,
K.A. and Miller M.J., 1993. Production Bacillus thuringiensis Insecticidal
Protein in Plant in SD Kung and R Wud (eds) Transgenic Plants
Vol.1,Engineering and Utilization, Acaddemic Press New York.
Moeljopawiro
S. dan Bustaman M., 1993. Pemuliaan dan Biologi Molekuler. Prosiding Simposium
Kinerja Penelitian Tanaman Pangan III. Badan Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Nasir
M., 2002. Bioteknologi Molekuler Teknik Rekayasa Generika Tanaman. Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sitepoe
M., 2001. Rekayasa Genetika. Penerbit. Grasindo. Jakarta.
Sunarto,
2001. Peningkatan Produksi Pertanian melalui Penggunaan Varietas yang Toleran
Cekaman Lingkungan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Soedirman Puwokerto.
No comments:
Post a Comment